Larangan Hakim Tetapkan Perkawinan Beda Agama, Ini Aturan dalam Surat Edaran MA

Larangan Hakim Tetapkan Perkawinan Beda Agama, Ini Aturan dalam Surat Edaran MA

M. Ishom El Saha (Wakil Dekan 1 Fak. Syariah UIN SMH Banten)--kemenag.go.id

Oleh sebab itu ketika akhir-akhir ini sering lahir penetapan pencatatan perkawinan pasangan beda agama dari pengadilan, maka masalah itu menjadi sorotan masyarakat luas.

Masyarakat banyak beranggapan peristiwa hukum ini sebagai degradasi hukum perkawinan di Indonesia.

BACA JUGA:Lepas Kepulangan Kloter Pertama ke Tanah Air, Menag Yaqut Minta Maaf dan Doakan Jemaah Jadi Haji Mabrur

Penetapan permohonan pencatatan kawin beda agama oleh hakim pengadilan dinilai masyarakat bukan menjadi terobosan atau solusi atas kebuntuan hukum, akan tetapi menjadi preseden buruk bagi pranata hukum perkawinan di Indonesia.

Persepsi masyarakat ini dapat dimaklumi karena keberadaan hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku secara pluralistik.

Kenyataannya walaupun hukum perkawinan sudah diunifikasikan ke dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanan, akan tetapi di tengah-tengah masyarakat masih terdapat hukum perkawinan yang hidup.

Seperti hukum agama dan hukum adat. Bahkan di dalam hukum formal juga terdapat aturan hukum lain yang pluralistik selain UU Perkawinan.

BACA JUGA:Kemenag Launching Kampung Zakat ke-28 di Bener Meriah

Di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang salah satu pasalnya (pasal 34) mengatur juga hukum pencatatan perkawinan dan bahkan memberikan exit way secara eksplisit perkawinan antar-umat yang berbeda agama.

Begitu juga keberadaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016 tentang tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran.

Yang memberi ruang dua orang yang menikah tidak tercatat dapat menyatukan diri dalam satu Kartu Keluarga dan di KTP-nya tertulis berstatus ‘kawin’ dengan hanya bermodal Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM).

Masyarakat beranggapan bahwa kebijakan yang mendegradasi UU Perkawinan ini dikhawatirkan akan semakin menyuburkan praktik kawin sirri atau kawin liar.

Mereka memandang dengan adanya UU Administrasi Kependudukan, urgensitas buku nikah sudah tidak penting lagi, karena segala layanan kependudukan tetap dapat dinikmati meskipun tidak memiliki Buku Nikah.

BACA JUGA:Kemenag Siapkan Media Center Haji di Jakarta, Pusat Informasi Seputar Haji Terkini

Tabayun Peradilan

Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2023 dapat dijadikan bahan tabayun para hakim di pengadilan ketika memeriksa perkara perkawinan.

Hakim ketika memeriksa kasus perkawinan seharusnya mengedepankan asas formal hukum perkawinan bukan hukum administrasi kependudukan.

Hal ini sama tatkala hakim dihadapkan pada persoalan hak nafkah mantan istri dan anak dari seorang PNS.

Dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah oleh PP Nomor 45 Tahun 1990 dijelaskan bahwa apabila perceraian PNS terjadi atas kehendak pria, maka pria yang berstatus PNS tersebut wajib menyerahkan 2/3 gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.

Akan tetapi hakim menolak menggunakan Peraturan Pemerintah itu dengan alasan dasar hukum akibat perceraian adalah yang diatur dalam UU Perkawinan.

BACA JUGA:Indonesia - Malaysia Sepakati Kerja Sama Sertifikasi Halal

Jika dalam perkara nafkah istri dan anak akibat perceraian dari suami PNS seperti itu maka dalam perkara permohonan penetapan beda agama juga seharusnya diberlakukan putusan serupa.

Dengan kata lain hakim sama-sama mengabaikan pertimbangan hukum administrasi kependudukan maupun administrasi kepegawaian.

Hakim mengabaikan pertimbangan hukum administrasi kependudukan, maka sama halnya hakim menguatkan kewenangan lembaga peradilan.

Sumber: