Larangan Hakim Tetapkan Perkawinan Beda Agama, Ini Aturan dalam Surat Edaran MA

Larangan Hakim Tetapkan Perkawinan Beda Agama, Ini Aturan dalam Surat Edaran MA

M. Ishom El Saha (Wakil Dekan 1 Fak. Syariah UIN SMH Banten)--kemenag.go.id

Bagaimana tidak demikian? Sebagai dampak diberlakukannya UU Admistrasi Kependudukan, warga dapat memproses penyatuan Kartu Keluarga dan menyebut diri mereka berstatus sebagai suami istri yang sah tanpa didasari penetapan dari pengadilan.

BACA JUGA:BPJPH - Kemenkop UKM Sinergi untuk Percepatan Sertifikasi Halal

Hakim peradilan seyogyanya mempersempit keberlakuan surat sakti SPTJM dengan mematuhi SEMA No. 2 Tahun 2023. SPTJM selama ini banyak menimbulkan masalah hukum, seperti status anak dan lainnya.

Dalam UU Perkawinan telah diatur status anak akan tetapi penetapan asal-usul anak dan kedudukannya diatur berbeda di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maupun UU Administrasi Kependudukan.

Anak yang sah menurut Pasal 42 UU Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Di dalam pasal 55 UU Perkawinan juga dinyatakan bahwa asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Penetapan asal-usul anak untuk menentukan identitas anak semula bersifat sukarela (voluntary), namun setelah diterbitkannya UU Perlindungan anak dan UU Administrasi Kependudukan berubah menjadi bersifat wajib (mandatory).

BACA JUGA:Menag Lepas Keberangkatan 338 Jemaah Haji, Jangan Sungkan Hubungi Petugas

Secara umum anak yang lahir di luar perkawinan harus mendapatkan identitas anak sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akte kelahiran tanpa harus melampirkan buku nikah orang tuanya.

Pejabat Pencatatan Sipil secara mandatory wajib mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran tanpa memeriksa status keabsahan anak melalui buku nikah.

Pelayanan pembuatan Akta Kelahiran hanya dengan bermodalkan SPTJM tanpa dilampiri fotokopi buku nikah dinilai telah melemahkan otoritas lembaga pencatat perkawinan Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil sendiri.

Kita berharap diterbitkannya Surat Edaran MA No 2 Tahun 2023 mampu merekatkan dan menguatkan antar-institusi negara. Selain itu UU Perkawinan ditaati oleh masyarakat, tanpa pengecualian.


Sumber: