Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan
ilustrasi --Minanews.net
Pria itu tak lama keluar dengan tangan dipenuhi tiga botol minuman soda dan beberapa camilan ringan sampai ia kesulitan menutup pintu. Auryn lantas mengambil alih semua yang ada di tangannya, membantu Jan agar ia dapat menutup pintu dengan tangan kosong. Setelah 'barang tempur' mereka sudah siap, keduanya melangkah agak cepat menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai teratas di gedung ini. Baru setelahnya, mereka naik tangga darurat menuju atap.
Hamburg ramai dan terdengar sayup-sayup bising dari atas sana. Sebuah perbedaan yang mencolok melihat atap yang redup dengan hanya satu penerangan remang-remang, sedangkan di bawahnya Kota Hamburg yang tak pernah mati dipenuhi cahaya. Suara klakson mobil tak lepas terdengar, bersahut satu sama lain seakan memanggil walau dari kendaraan yang berbeda.
Suara bising namun tak asing. Isi kepala Auryn juga sedang sama bisingnya. Bedanya, bukan suara klakson yang berputar dalam kepalanya, melainkan dirinya sendiri yang selalu berdebat dengan sisi dirinya yang tak sejalan. Seakan, kalau boleh ia mengusir, ia hanya ingin punya pendirian dan berhenti berdebat dengan dirinya sendiri.
Keduanya mencari tempat ternyaman dan berakhir duduk di salah satu tepian gedung. Kaki mereka menjuntai menghadap jalanan di bawah walau ada pijakan lantai di bawah yang melindungi. Auryn menghirup udara dingin yang sempat membuatnya bergidik dalam-dalam, kemudian ia membuangnya dengan leluasa seperti tak hanya udara yang keluar, namun juga rasa cemasnya.
Mereka sempat diam sejenak selama beberapa menit. Menatapi kota dari atap gedung tinggi yang jarak pandang terjauhnya jugalah sebuah gedung. Kalau menunduk, di bawah mereka adalah jalan yang dilintasi berbagai macam mobil berlalu lalang. Jan menyambungkan pengeras suara itu ke ponselnya, mulai menyetel lagu dalam daftar putar acak untuk menemani pembicaraan mereka yang entah akan membicarakan apa malam ini.
Anything You Want – Reality Club terputar bersamaan dengan suara ramai lalu lintas Kota Hamburg. Setelah isi minuman kaleng di tangannya sisa setengah, Jan menengguknya habis dalam waktu singkat. “Hah...” Ia mengelap bibirnya dan tertawa kecil. “Minumanmu sudah habis?“ Auryn yang tengah melamun menatap kosong pemandangan menoleh, tersenyum, lalu menggeleng. “Dicicil, ngirit. Hanya satu botol jatahnya, “ ucapnya bercanda.
“Minum saja soda saya yang satu lagi.“
“Enggak, ah. I’ll be like Mrs.Puff (aku akan seperti Nyonya Puff) Kembung.“ (Di serial SpongeBob Squarepants, ada karakter Nyonya Puff, Ia adalah ikan buntal.)
Jan tertawa tanpa melepas pandangannya dari wajah Auryn yang dibalut gelap. Hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu gedung-gedung sekitar dan lampu darurat atap. Kegelapan itu tak sedikitpun merenggut bagian dari Auryn yang ia kagumi. Selama dia Auryn, apapun itu, rasa kagumnya tak akan berkurang dengan sebab.
Pria itu tersenyum rapat dan tak berkedip. Auryn yang ditatap sedemikian rupa sampai berhenti tertawa dan menoleh canggung. “Mengapa kau melihatku begitu?“ Bukannya menjawab, Jan malah memicingkan mata dan menggerakkan kepalanya dari kanan ke kiri. Gerakan Jan yang tiba-tiba itu tentu saja membuat bola mata Auryn mengikuti pergerakannya. “Apa, sih?“
“Percayalah dalam dirimu, Auryn. Never be sorry for being you. You're the realest person i've seen in this full-of-fake world (Jangan pernah menyesal menjadi dirimu. Kamu adalah orang paling nyata yang pernah saya lihat di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini). Kamu tahu? Saat saya menyadari bahwa kamu adalah seorang ‘dia’, semua orang di ruangan itu seolah-olah menghilang. Berbicara dengan kamu adalah bagian favorit ketiga saya hari ini. nomor satu adalah melukis, nomor dua adalah basket. I wish you could see yourself through my vision to see how amazing you are (Saya berharap kamu dapat melihat diri kamu melalui visi saya untuk melihat betapa menakjubkannya kamu). Saya ingin menjadi bahu bagimu untuk bersandar setiap kali kamu menangis, menjadi sahabat dan temanmu, also be your 911” (juga menjadi 911 bagimu) (911= nomor telepon tunggal di Amerika Serikat)
Auryn tersedak mendengarnya. Hal-hal seperti ini, tak akan pernah mempan membuatnya merasa lebih baik. Senang? Tentu. Namun percaya? Belum tentu. Terkadang orang mengatakan itu hanya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya, dan sebagai orang yang tak mudah percaya, baginya semua perkataan seperti itu di saat seperti ini adalah omong kosong.
Namun ucapan Jan barusan...rasanya...asing. Seperti terhipnotis, berkat beberapa kalimat yang bahkan tak menyebut dirinya berharga secara terang-terangan saja dapat langsung membuat dirinya merasa lebih baik. Laki-laki itu...memang...selalu pandai berkata-kata.
“You're good with words (Kau bagus dalam berkata-kata).” kata Auryn sambil tertawa.
Jan membalasnya dengan kekehan kecil sambil melihat kakinya yang berayun acap kali menabrak susunan batu bata yang ia duduki. Laki-laki di sampingnya mengambil satu kaleng yang belum tersentuh, dan bertanya sebelum membukanya. “Kamu mau ini?“ Auryn menggeleng. “Minum saja.”
“But i don't even love myself how can people love me (Tapi aku bahkan tidak mencintai diriku sendiri, bagaimana mungkin orang lain dapat mencintaiku)” Auryn tiba-tiba saja menggumamkan kata-kata itu namun ternyata suaranya terdengar sampai membuat Jan menoleh.
Sumber: