Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

ilustrasi --Minanews.net

PALEMBANG, RADARPALEMBANG.COM - Sebuah cerita dari salah satu peserta didik kelas 9B SMP Kusuma Bangsa Palembang bernama Camerine Maria N Pakpahan.

Berlatar belakang negara Jerman dengan segala keindahan alamnya.

Bercerita tentang cinta, konfilk keluarga, kekerasan yang dialami remaja, sampai kematian. Sebuah cerita yang cukup panjang, namun asyik untuk dinikmati. Berikut kisahnya.                      

MAMPIR

“Kau yang singgah, tapi tak sungguh”

AKU belum pernah sekali pun percaya dengan perasaan cinta. Maka pagi ini, ketika teman sebangkuku, Carrelsa Gaianya, dengan riang menceritakan kisah cinta hebatnya, aku hanya dapat menghela napas tidak suka. Ingin sekali rasanya bagiku menyela, bilang bahwa ia harus segera sadar bahwa itu semua hanyalah semata-mata rasa kekagumannya yang sementara.

BACA JUGA:[PUISI] Peserta Didik Kelas 9D SMP Kusuma Bangsa Berpuisi untuk Ibu

 

Sayangnya, dia adalah orang yang keras kepala. Sebanyak apa pun aku menasihati, ia akan secara terus menerus menyangkal.

“Kau tahu Ryn? jika jatuh cinta adalah sebuah warna, maka itu akan menjadi daun di bulan oktober, matahari terbenam di musim gugur, dan cokelat panas yang direbus. Jika jatuh cinta adalah sebuah aroma, maka itu akan menjadi apel panas di atas kompor, batang kayu manis vanilla, dan pala manis dengan cengkeh. Jika jatuh cinta adalah sebuah tempat, maka itu akan menjadi musim gugur di taman. Meminumi latte panas dan tertawa sampai terlalu gelap, diiringi dengan lagu angin yang bergerak. Wah.. sungguh perasaan damai yang luar biasa. Lalu, jika jatuh cinta adalah sebuah musim, itu tidak akan menjadi musim panas ataupun musim semi, tidak akan ditemukan di bulan Januari, dan musim dingin hanyalah seperti nyala api. Jika jatuh cinta adalah sebuah musim, pasti ada alasan baginya dinamakan musim gugur. Tetapi jika jatuh cinta adalah seseorang, ia akan menjadi musim gugur yang terhebat dari semuanya,” ujar Carrelsa kepadaku.

Aku hanya diam tak menanggapi. Entahlah, semua yang dikatakannya bak omong kosong. Bukan karena tak dapat menghargai seorang teman, tetapi karena aku memang tidak pernah tahu bagaimana rasanya. Hari ini umurku telah menginjak angka ke tujuh belas.

Dan selama tujuh belas tahun, tak pernah sekali pun aku merasakan kasih sayang dari seseorang, bahkan dari orang tua ku sendiri. Mereka seringkali menjadi air mataku, ketika tak kudapati kehadiran dari keduanya untuk menggenapkan sepi. Aku hanya ingin kami memiliki tempat untuk mengalahkan sepi. Aku hanya ingin kami memiliki banyak waktu untuk berbagi cerita. Namun faktanya, untuk membaca perasaanku saja, mereka dapat dengan sekejap menjelma, menjadi anak kecil yang lupa akan caranya mengeja.

Kini ku menginjakkan kedua kakiku pada jembatan kokoh di Danau Alster. Hari semakin mendung, gumpalan kapas gelap bersanding bersama cakrawala. Ku rasakan suatu cairan bening terjatuh dari langit menimpa kulit kepalaku. Perlahan-lahan tetes kehidupan itu jatuh serentak memborbardir ribuan kilometer lahan. Hujan. Aku suka hujan. Aku menangkap setiap tetesan yang jatuh dengan jari-jariku dan dengan serentak aku menari-nari bahagia di jembatan yang mengelilingi Danau Alster.

Setiap tetesan hujan yang terjatuh, ku jadikan pengiring musiknya. Semakin deras hujan yang jatuh, sebegitu cepat pula kaki ini menari-nari. Namaku Auryn. Auryn Schmidt. Di dunia ini aku menyukai dua hal; air dan menari.

---

Sumber: