Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

ilustrasi --Minanews.net

Beberapa buku cetak tebal milikku tergeletak hancur begitu saja di atas lantai dapur. “Mau ditaruh di mana muka saya saat berhadapan dengan ayah kau nanti, Auryn?” teriak wanita itu sembari mendekat. “Saya susah-susah mencari guru les yang bagus untuk kau! Tapi apa? Nilai kau yang ada bukannya naik malah anjlok seperti ini!” Ia merobek-robek kertas ulangan fisika yang bertuliskan nilai 85 dengan keterangan lulus itu dengan kasar.

Ibuku berjalan ke arah meja makan lalu menopang tubuhnya dengan kedua tangannya yang ditaruh di atas meja persegi panjang membelakangiku.

Brak! “Kenapa anakku bukan Helena saja!” ucapnya sambil menggebrak meja. “Kenapa harus kau? kenapa bukan kakak kau saja yang ikut aku?” katanya lagi membuat jantungku mencelos. Ia kembali membalikkan tubuhnya dan bertatapan langsung denganku lalu tangannya dengan enteng mengambil piring dan gelas kaca secara bersamaan dari atas meja dan melemparkannya langsung ke arahku.

Prang! Piring itu meleset dan hancur berkeping-keping begitu mengenai dinding di belakang tubuhku. Wanita itu kembali melempar piring kaca kedua ke arahku dan lemparan kali ini tepat sasaran. Piring itu mengenai wajahku sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan pecah menjadi banyak bagian.

Sesekali segukan keluar dari mulutku. Air mataku sudah tak dapat lagi mengalir sejak piring itu mendarat mulus di wajahku, seakan rasa sakit dan perih yang menjalar di wajahku kalah sakitnya dengan perkataan yang dilontarkan olehnya.

Aku menatap kepergiannya sebelum akhirnya aku jatuh duduk di antara serpihan beling di atas lantai. Aku menghela napas panjang, mengisi rongga paru-paruku yang terasa kosong. Aku menyandarkan punggungku ke dinding dibelakang, mataku tertutup menikmati sensasi dingin yang menjalar dipunggungku. “Aku bukan Kak Helena Bu.. Aku Auryn,” lirihku gemetar.

---

Sore kedua di sekolah baruku, lapangan basket kami telah disesaki dengan teman-teman. Menyaksikan betapa cekatannya pria-pria tinggi berlarian memperebutkan bola basket. Mata ini tanpa sengaja menatap ke arah satu titik, dimana seorang lelaki manis dengan lesung pipi dalamnya yang muncul tiap kali ia tersenyum. Rambut hitam legam dan pelipisnya yang basah oleh keringat justru membuat lelaki itu semakin menarik untuk dilihat.

Di antara semua pemain, langkah kakinya tampak begitu cekatan, terlihat kemampuan basketnya menjadi yang paling menonjol diantara yang lain. Data ini semakin valid begitu ia mencetak banyak sekali poin tanpa adanya satu bola pun yang meleset dari ring tiap kali ia menembak.

Sepasang bola mata cokelat milik lelaki itu tiba-tiba saja bertabrakan dengan sepasang bola mata biruku. Laki-laki itu lantas tersenyum dan berteriak menyapa, “Auryn!” sapanya sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku tersentak, tak menyangka ia akan menyapaku ditengah-tengah pertandingannya. Hal itu menyebabkan aku menjadi sorotan bagi semua orang. Keadaan yang tadinya riuh, mendadak sunyi. Orang-orang sibuk berbisik dan menerka-nerka akan apa sebenarnya hubunganku dengan lelaki ini. Lalu aku pun dengan segera melesat pergi menjauh dari semua kerumunan itu.

Aku berjalan menuju taman Planten un Blomen. Perjalanan dari sekolah ke taman Planten un Blomen di dekat sekolahku tak menghabiskan waktu lebih dari lima menit, hal itu membuatku bersyukur karena itu artinya aku dapat dengan cepat menghindari situasi in close proximity (dalam jarak dekat) dengan orang-orang di sekolah yang belum ku kenal, yang terus bertanya-tanya mengenai sekolahku yang lama, bagaimana aku menetap selama dua hari setelah sampai di Jerman dan kawan-kawannya. Aku mengerti bahwa itu semua hanyalah sebuah formalitas, tapi tetap saja. Aku bukanlah penggemar obrolan ringan.

Ah ya.. mengenai lelaki tadi.. namanya Jan Klugenisch. Lahir di Connecticut dengan darah Jerman dan Indonesia yang mengalir di dalam tubuhnya, ia pun fasih dalam ketiga bahasa yang ia kuasai. Menganut tiga kewarganegaraan hingga usia lima belas tahun, Jan pun memutuskan untuk memilih kewarganegaraan Jerman karena paling lekat rumah.

Dulu dia adalah teman dekat dari seorang teman dekatku di SMP, yang menghubungiku duluan setelah tau aku akan melanjutkan SMA ku di Jerman, bahkan di kota yang sama dengannya. Jika bukan karenanya yang menghubungiku duluan dan mengenalkanku kepada perkumpulan pelajar di Hamburg, mungkin aku akan benar-benar tak memiliki teman disini.

Bukannya aku tak dapat berteman, hanya saja terkadang aku tak ingin repot. Terlalu banyak omong-kosong yang harus ku buat bersama orang lain diawal perkenalan, dan itu bukanlah hal yang ku sukai. Jika memang tak ada sesuatu yang perlu dibicarakan, maka tak usah. Hal itu juga yang menjadi faktor besar mengapa aku memilih Jerman sebagai negara tujuanku, itu semua dikarenakan stereotipe orang-orangnya yang to the point. (Pembicaraan langsung ke inti. Istilah ini digunakan ketika seseorang langsung membicarakan inti permasalahan dan tidak menghabiskan waktu untuk berbasa-basi.)

“Willkommen, welche Geschmacksrichtung möchten Sie bestellen?" (Selamat datang, rasa apa yang ingin anda pesan?) ucap si penjual roti. Ya, di taman Planten un Blomen terdapat banyak Café klasik yang menjual pernak-pernik serta makanan dan minuman. Saat ini aku tengah berhenti pada sebuah kedai roti karena wanginya yang menarik perhatianku.“Es liegt an Ihnen, was ist Ihrer Meinung nach der beste Geschmack?” (Terserah anda, menurut anda apa yang paling enak?) jawabku. “Vanille.” (Vanila) sahutnya menanggapi. “Okay, Vanille Toast und eine Tasse Kaffee, bitte?” (

Sumber: