Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

ilustrasi --Minanews.net

Oke, roti vanila dan secangkir kopinya, tolong?) pesanku pada akhirnya.
Setelah mengisi tenaga di Café Schöne Aussichten Hamburg, aku menyusuri seluruh taman. Dulunya aku mengira kata-kata Planten un Blomen ini berasal dari Bahasa Belanda, ternyata pengambilan nama dari taman ini berasal dari Plattdeutsch (baca: plattdoitch), yakni logat Jerman Utara yang dulunya dipakai oleh orang Hamburg dan sekitarnya, berasal dari kawasan pelabuhan Finkenwerder. Planten un Blomen jika di bahasa Jerman kan, akan menjadi Pflanzen und Blumen, yang artinya tumbuh-tumbuhan dan bunga.

Hari kian menggelap dan semakin gelap. Hingga Farbige Wasserlichtkonzerte yakni konser air mancur menari warna warni yang sedari tadi ku tunggu-tunggu tiba. Air mancur ini hanya akan terlihat warna warni di malam hari. Aku selalu terkagum dengan warna-warna laser yang dibiaskan oleh air yang memancur itu. Biru, oranye, kuning, merah, ungu. Pantulan-pantulan warna tersebut seakan menjadi candu bagiku untuk terus menatapnya, tanpa henti. Bahkan, aku selalu membayangkan untuk dapat menari-nari bersama air mancur menari tersebut.

Sebuah kekuatan magis lantas seakan menggerakkan kedua tanganku di udara. Aku menari-nari mengikuti irama dari air mancur yang indah itu. Dalam tarianku, aku merasa dapat menyatu dengan air mancur itu. Lewat penyatuan itu, aku merasa aku dapat lebih mengenal diriku sendiri.

Mencintai, barangkali adalah mengenal diri sendiri. Tidak ada ruang di kepala dan di hatiku yang tak dapat menampung kehadiran air mancur menari yang berada di hadapanku itu.

Sudut mataku dapat menangkap kerlap-kerlip yang berpadu padan dengan geliat air yang menari di air mancur itu. Semakin aku memandangi air mancur menari tersebut, rasanya aku tak ingin melepaskan pandanganku walau barang satu detik saja. Sungguh, aku amat mencintai air mancur menari ini. Seakan-akan aku ingin menyingkirkan segala kekalutan pikiranku, dan terus menari bersamanya, ditemani biasan laser dan lampu hingga pagi menjelang.

Air mancur itu mampu menenangkan berbagai kecamuk yang ada di hatiku. Betapa banyak kabut di pikiranku dapat sirna. Senyumku pun baru dapat mengembang, pelan namun pasti disaat memandangi siluet-siluet air yang menari-nari diseberang sana.

Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sedari tadi aku merasa sedang diperhatikan. Lantas aku menoleh ke arah kanan mencari tahu. Aku melihat seorang laki-laki, bertubuh tinggi nan tampan. Ia berjalan perlahan ke arahku. Pria itu dibaluti dengan kaus berlapisan jas, “Hi” sapa pria itu tiba-tiba dengan senyum tipis di wajahnya. “Jan Klugenisch?” ucapku di dalam hati. Lalu dengan segera balik menyapanya “Oh, hi Jan.”

---

Saya menatap perempuan di depan saya lama. Surai kecokelatannya yang jatuh terurai sedikit membuat mata saya semakin menelisik. Setelannya tak jauh berbeda dengan yang dulu, dress agak mencolok namun tetap terlihat menawan. Bukannya saya subjektif, saya membenci selain warna hitam, tetapi bagaimana pun saya menyanggah, dress itu terlihat cocok dengannya. Tak sadar ujung bibir saya tertarik membuahkan ukiran senyum.

“Schön.” (cantik) kata ini tanpa disengaja terlontar begitu saja dari mulut saya. “Hah? apanya?” tanya gadis itu kebingungan. Suara halusnya nyaris melumpuhkan rungu saya. “Du bist schön.” (kamu cantik) sahut saya, dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. “Eh? oh, um.. danke.” (terimakasih) jawabnya terbata-bata, terlihat pipinya memerah salah tingkah, sama seperti dulu. Ia tak pernah berubah, selalu saja menggemaskan. Ujung jemari kaki saya terasa kaku ketika netra kami bertemu. Kini saya terlihat tak lebih dari orang bodoh yang salah tingkah.

“Hari sudah sangat larut, kenapa kamu masih di sini?” tanya saya berbasa-basi. “Farbige Wasserlichtkonzerte.” jawabnya singkat dengan jawaban yang sebenarnya telah saya ketahui sejak awal. “oh, kalau begitu kita sama” sahut saya kembali. Tidak, saya berbohong. Saya di sini bukan untuk menonton konser air mancur ini. Saya disini dengan sengaja ingin melihatnya, melihat senyumnya, melihat tarian bahagianya, dan kedua mata indahnya yang bersinar.

Sejak dulu saya tahu sekali apa yang disukai olehnya. Saya selalu menghadiri event-event seperti ini karena saya tahu, bahwa ia akan selalu hadir. Jika kalian semua bertanya kepada saya hari ini betapa saya mencintainya, bagaimana saya menggambarkan perasaan itu? mengetahui bahwa bahkan di kehidupan lain, tubuh dan pikiran lain, saya akan selalu memilihnya. Tidak akan ada satu alam semesta atau keberadaan di mana saya menginginkan sesuatu atau siapa pun. Aku sangat mencintainya, dan membayangkan hidup tanpanya membuat duniaku berhenti di orbitnya. Jadi, akhirnya saya menjawab. "Aku mencintainya di setiap dimensi, dengan semua ruang dan waktu."

---

“Kamu ingin ikut masuk atau menunggu di luar?” Jan berdiri memegang daun pintu apartemennya yang terbuka. “Di sini saja” sahut gadis itu. Jan masuk ke dalam apartemen studio bernuansa putih dengan kaca besar menghadap kota, tetap membiarkan pintunya terbuka agar Auryn yang berdiri di depan pintu tetap dapat melihatnya. Ia masuk untuk mengambil beberapa cemilan dan minuman dingin yang disimpan di dalam kulkas sebagai bekal perbincangan mereka malam ini. Tak lupa juga satu pengeras suara portabel untuk mendengar musik agar tak sunyi.

Sudah pukul satu pagi sekarang. Awalnya Jan menawari Auryn untuk mengantarkan gadis itu pulang, namun Auryn terus saja menolak. “Tapi ini sudah terlalu larut, Auryn? I know it’s German, but who knows? (saya tahu ini jerman, tapi siapa yang tahu) kita tak akan tahu kapan seseorang akan berbuat jahat.” Auryn lantas terdiam lalu menundukkan kepalanya, “yes.. i know. I just don’t want to go home. (ya.. aku tahu. Hanya saja, aku tak ingin pulang kerumah.) ”

Sumber: