Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan
ilustrasi --Minanews.net
Malam kali ini, rasanya begitu sepi. Malam kali ini, aku merasa resah tanpa adanya kehadiran.. seseorang. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Jan. Ya, Jan. Jangan tanyakan aku mengapa, karena aku sendiri pun tak mengerti. Sebenarnya apa ini? apa maksud dari perasaan ini? Aku merasa tak tahu kemana akan ku tumpahkan cerita-ceritaku, yang padahal biasanya memang selalu ku pendam sendiri. Aku merasa.. kini aku tak terbiasa menjalani semuanya tanpa Jan.
---
Esok hari sepulang sekolah — “Darimana kamu bahkan mendapatkan semua ini? ” tanya Auryn heran. Netranya yang aslinya sudah lebarpun membelak saat menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Sebuah kuda-kuda kayu besar yang dilengkapi dengan palet kayu yang serasi, kanvas kosong berukuran kecil yang duduk tepat di atasnya, sepasang kuas dengan berbagai ukuran, tiga cat warna primer, dan dua gelas air sekarang berdiri di atas tanah tempat perlengkapan piknik mereka. Pria yang berdiri di samping kuda-kuda besar, masih lebih tinggi dari itu, mengangkat bahu acuh tak acuh. “Ini? saya mengambilnya dari tempat workshop. Sepertinya mereka mengadakan semacam workshop melukis beberapa hari terakhir ini,” balasnya dengan tenang.
Mendengar itu, Auryn hanya dapat menganga.
“Memangnya boleh Jan jika diambil begitu saja?”
“Mungkin tidak? saya hanya mengambil satu”
Gadis itu berdiri disana, masih bingung. Apa yang telah dilakukan pria ini?
“Ayo cepat kesini, akan lebih seru jika menganggambar ada temannya. Tetapi ini satu kanvas untuk berdua saja ya.”
“Bukankan lebih baik kita kembali ke art gallery tadi daripada terkena masalah?” Auryn beranjak untuk mengembalikan peralatan yang diambil oleh lelaki yang sedang menyeringai bangga itu. Sebelum dapat melangkah lebih jauh, pergelangan tangannya ditarik secara halus oleh Jan. “Apa kamu yakin? cuacanya bagus jadi saya pikir akan sia-sia tinggal di dalam rumah.”
Pernyataan Jan akurat, angin sepoi-sepoi dan sinar matahari tidak sehebat lagi. Melihat mata Auryn, yang mencerminkan keraguan, ia pun mencoba untuk memastikannya. “Begini saja, jika ada satu ons pun dari kamu yang mau melukis di bawah terik matahari, aku yang akan jatuh jika kita mendapat masalah. Bukannya mereka yang memasang tanda larangan, jadi saya akan memberi tahu mereka bahwa saya pikir itu adalah aktivitas gratis. Tetapi jika kamu ingin di art gallery ya tidak masalah, saya kembalikan ini dulu.” katanya.
Didalam lubuk hati terdalam Auryn, ia berharap dapat melukis pemandangan hijau ini. Bagaimana tidak, panorama yang terbentang di depam matanya mengingatkannya pada hantaran lembah berumput di Swiss. Yah, mungkin tak sedekat itu karena itu hanya taman di tengah kota, bukan lembah yang menakjubkan dengan pegunungan Alpen yang mengelilinginya.
Tak ketinggalan air danau yang berwarna hijau keruh bukannya rona pirus yang memukau, namun pemandangan hijau di depannya memang membuat perutnya menggelitik sangking semangatnya. Sayang sekali jika momen ini dilewatkan.
“Baiklah.. tetapi begitu kita mendapatkan masalah, aku serahkan pada kau untuk menghadapinya ya” balas Auryn dengan mulut yang merengut dan dahi yang berkurut, seolah ia menerima tawaran rencana Jan dengan setengah hati. Untung Jan dapat melihat menembus fasadnya.
“Nih.” Jan menyodorkan earphome kabel berwarna hputih miliknya. “Saya akan mendengarkan lagu-lagu di daftar putar Swiss saya, jadi jadilah tamu saya.”
Jan meraih paruhan earphone untuk telinga kiri dan memposisikan diri di sebelah kanan Auryn. Separuh dari bisingnya suara lautan manusia di taman tergantikan oleh lantunan lagu Love and War in Your Twenties yang mengisi rongga telinga mereka. Venus memungut palet kayu yang duduk manis di dudukan easel dan mulai mencampurkan rangkaian cat yang menghasilkan palet warna Botanic Gardens; jejeran rona hijau untuk ragam dedaunan maupun danau, biru muda untuk menerjemahkan langit menuju terbenamnya matahari yang cerah, putih yang nantinya membentuk gumpalan awan dengan sinar matahari yang mengintip dari baliknya, dan coklat bagi pepohonan.
Jan pun mengambil sebatang kuas ukuran sedang dan mengikuti aksi gadis dengan mata biru nan berkilau dibawah sinar matahari. Kedua insan yang tengah berdiri membelakangi matahari sore hari itu mulai meninggalkan jejak coretan pada papan kanvas saat mereka menyetel dunia disekitar mereka.
Sumber: