Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan
ilustrasi --Minanews.net
Sabtu, kami mengunjungi Internationales Maritimes Museum. Miniatur mercusuarnya sangat keren. Dengan hanya melihatnya saja, membuatku ingin sekali menaikinya.
Minggu, kami diundang untuk pergi berjalan-jalan dengan teman-temannya Jan dari sekolah. Menurutku teman-teman Jan disini sangat heboh, sehingga terkadang membuatku merasa risih. Sesaat aku ingin menangis ketika terjebak diantara mereka.
Lalu hari ini, sosok yang terus menemaniku minggu lalu, sedang ku cari-cari keberadaannya. Entah kemana dia, entah dimana ia sekarang. Semua sudut ruangan di sekolah pun telah ku kunjungi, dan orang itu tak kunjung kutemukan. Ia menghilang, secara tiba-tiba. Hilang begitu saja, tanpa kata.
tut..tut..tut..
Nomornya pun tak dapat kuhubungi. Hal ini sungguh membingungkanku. Apa yang sedang terjadi dengannya?
“Jan, kau kemana sih?” ucapku bermonolog.
Di seberang sana, aku melihat mading yang dipenuhi dengan banyak murid. Aku pun merasa penasaran, lantas ikut melihat.
“Ruhe in Frieden unser geliebter Student — Jan Klugenisch.” (Beristirahatlah dengan tenang murid kami yang terkasih — Jan Klugenisch)
deg. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Sangking cepatnya, sampai-sampai aku tak dapat lagi mengucapkan sepatah kata. Aku terbungkam. Benar-benar terbungkam. Tidak. Ini semua tidak mungkin.
Sayup-sayup terdengar suara bisik seorang siswa mengatakan “Ich habe gestern gehört, dass er bei einem Unfall gestorben ist.” (Saya mendengar kemarin bahwa dia meninggal dalam kecelakaan).
---
Auryn mengitari makam selama sepuluh menit dan berhenti didepan batu nisan yang bernama Jan Klugenisch. Auryn meletakkan buket bunganya, lalu menatap makam didepannya dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan.
“Halo Jan,” ucapnya. Kini ia ingin menahan air matanya agar tidak jatuh karena sedang bersama teman-temannya Jan disampingnya.
“Jan, aku datang,” Auryn sudah tidak dapat mengontrol nada suara yang lemah dan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Jan hari ini aku ulang tahun ke 18 tahun, lho. Kau tak ingin merayakannya denganku?”
Auryn menunduk, isak tangis mulai terdengar dari bibirnya. Semakin lama, tangisan itu terdengar begitu pilu.
Telah kubuka lagi lembaran-lembaran tentang diksi yang telah kau ucap,
sembari kubaca dengan lahap. Naasnya sang madyapada tak mengijinkan kau menetap.
Sumber: