BRICS Aliansi Kekuatan Ekonomi 5 Negara Berkembang, Dapat Saingi Uni Eropa, Adakah Indonesia di Dalamnya?
BRICS yang merupakan Aliansi dagang dari 5 negara berkembang yang dapat menyaingi Uni Eropa dan juga Amerika--
Perbedaan ini juga semakin signifikan dari tahun 2008 hingga 2021, dimana China mengalami pertumbuhan sebesar 138 persen, India 85 persen, Rusia 13 persen, Brazil 4 persen dan Afrika Selatan turun 5 persen pada periode yang sama.
Jika dilihat dari PDB per kapita terlihat selisih dari negara-negara tersebut, dimana Rusia mempunyai PDB perkapita hingga 4 kali lebih besar daripada India dan dari sisi inflasi juga sama.
Dimana setiap negara anggota BRICS hingga tahun 2021 mempunyai tingkat inflasi yang beraneka ragam dan stabilitas yang tidak setara satu sama lain, dimana ada yang mengalami pernurunan dan ada juga yang mengalami kenaikan.
Hal tersebut berbeda dengan Uni Eropa, dimana negara anggotanya mempunyai kondisi ekonomi yang mirip satu sama lain. Dari sisi pertumbuhan PDB semuanya hampir mempunyai tingkat pertumbuhan yang tidak jauh berbeda satu sama lain.
Selisih PDB perkapita tidak lebih dari dua kali lipat antara yang tertinggi dan yang terendah, tingkat inflasi menunjukan range yang tidak terlalu jauh dan stabilitas yang lebih setara.
- Berkurangnya Independensi dan Kedaulatan Negara Anggotanya untuk Dapat Membuat Kebijakan Moneter Sendiri
Ketika sejumlah negara berkoalisi membentuk mata uang baru yang digunakan bersama maka artinya semua negara anggotanya akan mengorbankan kemampuan mereka untuk mengontrol jumlah uang beredar di negaranya masing-masing.
Ekonomi negara mereka akan menjadi satu perahu besar, dimana masing-masing negara tidak dapat lagi sesukanya menentukan arah jalan kapalnya masing-masing, semuanya harus satu rasa dan satu nasib.
Kondisi seperti ini tentunya akan berpotensi memicu perselisihan antar negara anggotanya dan membuat mata uang bersama tersebut gagal mencapai tujuannya.
Jangankan negara-negara BRICS yang ketimpangan ekonomi anggotanya masih jauh, bahkan negara Eropa sering memiliki memiliki perbedaan pendapat terkait kebijakan moneter Euro yang sering.
Misalnya ketika krisis 2018, Italia sangat susah untuk bangkit dari krisis ekonomi karena kebijakan moneter Euro yang sangat membatasi anggotanya untuk dapat mengambil kebijakan ekonomi sendiri untuk mumulihkan ekonominya secara mandiri.
Karena keterbatasan itulah negara Yunani terpaksa terjerat hutang yang semakin menumpuk karena Eropa yang cenderung terus naik.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2012, dimana fase ekonomi Jerman sedang naik pesat dan inflasinya juga sangat tinggi hingga harus menaikan suku bunga.
Sumber: