Bukan Krismon 1998, Krisis Ekonomi Terparah Indonesia Terjadi pada Demokrasi Terpimpin, Ini Alasannya
Krisis ekonomi terparah Indonesia bukan terjadi pada krismon 1998 melainkan pada era Demokrasi Terpimpin tahun 1965 karena pemerinta banyak mencetak uang--
Dimana saat itu karet merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, sementara barang ekspor lain seperti kopra, teh, tembakau, dan timah, juga menurun secara volume dan jumlah sejak tahun 1960.
Apalagi operasi dwikora juga memperparah perdagangan ekspor Indonesia, sejak konfrontasi Indonesia melakukan embargo ekonomi terhadap Malaysia yang mengakibatkan Indonesia susah umtuk mencari pasar baru yang siap menampung penjualan ekspor.
Terutama 60 persen persen produksi karet dan juga 50 persen hasil tambang timah yang sebelumnya diekspor ke Malaysia di luar militer dan saat itu anggaran pemerintah juga banyak.
Kemudian dialokasiin untuk proyek-proyek raksasa di pulau Jawa contohnya seperti stasiun TVRI, Monumen Nasional, Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal dan juga pelaksanaan Asian Games di tahun 1962.
Di Indonesia sendiri semua proyek mengangkat derajat dan martabat bangsa Indonesia, tetapi sebenarnya masih ada banyak hal yang lebih prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan dan juga kemandirian ekonomi di berbagai daerah saat itu.
BACA JUGA:Sama-sama Menjabat 2 Periode, Begini Perbandingan Kinerja Presiden SBY dan Jokowi di Bidang Ekonomi
Dimana hal itu ialah infrastruktur dasar di berbagai daerah yang masih angat minim. Pada saat itu daerah di luar jawa belum ada jalan beraspal, belum banyak dermaga atau pelabuhan, belum banyak juga fasilitas pasar yang menjadi pusat ekonomi daerah.
Karena hal tersebut juga yang akhirnya membuat banyak kalangan mengkritik kebijakan pemerintah saat itu termasuk Bung Hatta yang saat itu sudah tidak menjabat lagi di pemerintahan.
Anggaran Negara dan defisit pemasukannya juga sangat minim dengan jumlah penduduk yang angat banyak serta fasilitas penunjang ekonomi yang hanya terpusat di Jawa, Indonesia tidak mempunyai ruang gerak ekonomi sama sekali.
Maka karena hal itu pemerintah Indonesia yang saat itu tidak mempunyai alternatif apapun lagi untuk menentukan anggaran, akhirnya mengambil sebuah langkah yang akan berujung pada mimpi buruk yaitu mencetak uang sebanyak-banyaknya.
Untuk melakukan hal tersebut Indonesia bahkan sampai pernah mengubah undang-undang Independensi Bank Central.
Sejak tahun 1957 Bank Central Indonesia sudah kehilangan otoritasnya sebagai lembaga independen yang mengatur kebijakan moneter tanpa diganggu pemerintah.
Setelah wewenang Bank Central tersebut diambil alih, pemerintah terus-terusan mencetak uang untuk membiayai kebutuhan anggaran militer dan juga proyek pembangunan di pulau jawa.
Sumber: