Sejarah Malam Satu Suro dan Kalender Islam Bagi Masyarakat Jawa

Sejarah Malam Satu Suro dan Kalender Islam Bagi Masyarakat Jawa

Perayaan malam satu Suro ini menjadi tradisi yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa.--

BACA JUGA:Mengenal Budaya dan Tradisi Malam 1 Suro, Ini Perbedaannya dengan 1 Muharram

Pada saat itu, masyarakat Kerajaan Mataram umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu.

Sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah, termasuk perayaan malam satu Suro.

Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Hal tersebut bermaksud bahwa Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya melalui perayaan malam satu Suro.

BACA JUGA:Asmaul Husna Dijadikan Jimat, Bolehkah? Bagaimana Menurut Pandangan Islam?

Selain untuk menggempur Belanda di Batavia, hal itu juga bertujuan untuk menyatukan Pulau Jawa.

Maka dari itu, Sultan Agung tidak ingin rakyatnya terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.

Penyatuan kalender tersebut pun dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

BACA JUGA:Puasa Muharram Itu Berapa Hari? Ini Jadwal dan Bacaan Niatnya

Sementara itu, Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.

Untuk itu, pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Dengan demikian, tanggal 1 Muharram atau 1 Suro Jawa yang dimulai pada hari Jumat Legi juga turut dikeramatkan.

Bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Sumber: