Cerpen Sepotong Cinta dalam Rahasia Karya Arin Khalisa Putri Lubis

Cerpen Sepotong Cinta dalam Rahasia Karya Arin Khalisa Putri Lubis

foto ilustrasi--

Aku pun menangis di dekapan ayah justru seakan-akan aku yang punya banyak salah. "Yah, ayah ga punya salah sama sekali kok, ayah itu ayah terbaik di dunia, justru aku yang harus berterima kasih sekaligus meminta maaf atas segalanya, you’re my superhero dad!," kataku sambil menangis. Akhirnya satu hari full itu kami penuh dengan suka dan duka.

Hari esoknya pun tiba. Singkat waktu, aku pun pulang sekolah. Aku heran kenapa ayah belum datang untuk menjemputku. Biasanya ayah yang paling cepat untuk urusan penjemputan daripada orang tua dari anak lain. Tiba-tiba Evelyn, sahabatku, pun datang ke arahku. "La, tumben kamu belum dijemput, biasanya ayahmu loh yang paling cepat untuk urusan penjemputan," kata Evelyn sambil kebingungan. "Nah lyn, dari tadi aku telepon pun, ayah masih ga mengangkatnya," jawabku. Evelyn pun tiba-tiba pergi menjauh dariku.

Rupanya ia menanyakan sesuatu kepada mamanya. Evelyn kemudian bertanya kepadaku, "La, mau balik sama aku ga? Soalnya di sini udah sepi banget loh, nanti ga ada yang jemput kamu sama sekali gimana?." Aku bingung mau ikut apa ga soalnya kalau aku ikut, takutnya ayah tidak tahu keberadaanku sekarang. Takutnya nanti malah ayah ke sekolah dan aku tidak ada di sana. Namun pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dengan Evelyn.

BACA JUGA:4 Resep ala Ekstrakurikuler Kuliner Sekolah Kusuma Bangsa Palembang

Setelah setengah perjalanan berlangsung, aku melihat ada orang yang sedang dipukuli oleh sekelompok preman di lorong dekat rumahku. Waktu aku ingin keluar dari mobil karena ingin membantu, aku sangat kaget. Ternyata.. yang dipukuli itu ayahku. Aku bergegas ke luar mobil, namun Evelyn menarik tanganku. "La, kamu ga usah ke sana, nanti justru kamu akan menjadi kelemahan ayahmu, kamu akan habis dipukul, pikirlah matang-matang dulu," kata Evelyn. Kemudian aku masuk lagi ke mobil dan hanya bisa melihat ayahku yang dipukul.

Tentu saja aku tidak bisa mendengar apa yang preman itu katakan kepada ayah. Hatiku sangat sakit seperti ada duri yang menusuk. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba preman itu mengincar ayah. Apa yang terjadi sebenarnya itu hanya ayah yang tahu. Aku akan mencari tahu diam-diam apa yang terjadi dengan ayah. Aku tidak ingin ayah tahu kalau aku mengetahuinya.

Akhirnya ayah pun sampai di rumah tapi dalam keadaan babak belur. Aku pun menanyakan alasannya kenapa ayah bisa sampai seperti itu. Aku ingin mengetahui jawabannya. "Yah! Ayah kenapa?! Kok bisa sampai memar kayak gini sih?," tanyaku. "Ahh, gapapa Nak, ini Ayah cuma jatuh dari motor aja tadi, ayah ke kamar dulu ya," jawab ayah. Ayah pun langsung pergi masuk kamar. Aku sedih kenapa ayah tidak menceritakan yang sebenarnya.

Setelah seminggu kemudian, sekolah kami mengadakan school tour untuk mengunjungi Galeri Nasional Indonesia. Kami menaiki bus di terminal Tanjung Priok. Bus itu berisi 45 murid dari kelas kami. Ketika sudah sampai di museum tersebut, aku kagum dengan isi yang ada di dalamnya. "Wow! Museum ini berbeda aktualitasnya dengan yang aku lihat di majalah," kataku dengan tercengang. Aku mengambil kameraku untuk mengabadikan momen itu. Setelah setengah jam berlangsung, salah satu temanku lari ngos-ngosan dari luar museum menuju ke arahku.

"La, cepat kamu keluar, ada yang perlu kamu lihat," kata Jonathan dengan megap-megap. Ya, tentu saja aku langsung lari keluar dengan secepat kilat. Teman-temanku pun langsung ikut keluar bersamaku karena penasaran juga. Ketika aku keluar, aku melihat orang yang bagiku tidak asing. Punggungnya sangat mirip dengan ayahku, tapi itu sangat tidak mungkin. Ya, benar itu ayahku. Dilihat dari jauh, ayahku sedang berinteraksi dengan satpam. Tentu saja aku ingin diam-diam menguping pembicaraan mereka.

"Pak, tolong sampaikanlah permintaan saya ini, tolong banget, saya membutuhkan uang," kata ayahku kepada satpam tersebut. Satpam tersebut pun menjawab, "Iya nanti ya pak, saya pun heran tiba-tiba bapak datang ke sini menanyakan hal tersebut, kalau tidak ada keperluan yang penting lagi, silakan pergi." Muncullah beberapa pertanyaan yang mengitari pikiranku. Yang pertama, aku bingung kenapa ayah tiba-tiba datang kes ini tanpa memberitahuku. Yang kedua, kenapa ayah tiba-tiba bertanya kepada seorang satpam, dan yang bikin aku lebih kaget lagi ayah menanyakan sesuatu mengenai uang. Masalah apalagi yang sedang dihadapi ayahku ini. Kemarin itu mengenai preman, dan sekarang satpam.

Kemudian, ayahku tiba-tiba memaksa ingin masuk ke dalam. Satpam ingin mencegahnya, tapi ayah mendorong satpam tersebut sampai jatuh. Terjadilah kerusuhan saat itu. Banyak warga yang menghalangi ayahku untuk masuk. Aku pun langsung lari ke arah ayahku untuk menengahi mereka. Ketika aku ingin menengahi, aku pun ikut terdorong karena ayahku sudah dibutahkan oleh nafsu karena ingin masuk. Akhirnya ayah sadar kalau yang ayah dorong itu adalah aku. Entah mengapa, ayah langsung menutupi muka dan langsung pergi meninggalkanku. Entah apa sebenarnya yang terjadi.

Tentu saja aku mengikuti ayah pergi dan menanyakan beberapa pertanyaan kepadanya. "Yah! Ayah bisa berhenti dulu ga jalannya, dengerin Lala dulu, Lala mau nanya sesuatu," kataku dengan berteriak dengan jarah yang jauh dari ayah.

Ayah pun tiba-tiba berhenti. Ayah berbalik noleh kepadaku sambil tersenyum sambil berkata, "Ayah tahu kamu mau nanya apa nak, ayah pergi ke museum tadi untuk membayar biaya school tour kamu nak." Ya, tentu saja aku sangat bingung. Jika alasannya hanya ingin membayar biaya school tour, kenapa tidak ke sekolah saja atau langsung bertemu dengan guruku. Aku tahu ayah sedang berbohong.

Aku tidak tahu apakah ada cara lain untuk membuat ayah mengatakan yang sebenarnya karena ini sudah kesekian kalinya. Aku pun tidak melanjuti kegiatan school tour di museum itu karena ayah menyuruhku untuk pulang bersamanya.

Tiga hari kemudian yaitu hari Sabtu, aku libur sekolah. Aku ingin nyicil belajar untuk ulangan sejarah di hari Senin. Evelyn, Kiara, dan Abel mengajakku untuk belajar bersama secara online melalui video call. Selama setengah jam berlangsung, kami belum mulai untuk belajar. Kami masih curhat dan gibah bareng.

Sumber: