Cerpen Sepotong Cinta dalam Rahasia Karya Arin Khalisa Putri Lubis
foto ilustrasi--
Setelah itu, kami mulai belajar. Aku mencari buku sejarahku di rak meja belajar, namun tidak ketemu. Aku pun turun ke lantai bawah untuk menanyai ayah, siapa tahu ayah menyimpannya. Ternyata ayah tidak ada di rumah. Panik mulai mendatangiku. Aku pun balik ke atas untuk mengecek kembali. Tiba-tiba temanku menyaut dari video call, "La, bukannya kemarin kamu membawa buku sejarahmu ke museum?, siapa tahu ketinggalan di sana." Tiba-tiba aku sadar kalau aku membawa buku sejarah dan biologi ke museum kemarin, aku menitipkannya di dalam loker loket tiket.
Aku pun langsung bergegas untuk kembali ke museum. Untungnya museum ini dekat dengan rumahku. Ayah tidak ada di rumah, jadi aku berlari secepat kilat. Saking cepatnya aku berlari, aku serasa terbang mengalahkan kecepatan pesawat di udara. Sampainya aku di museum, aku ingin mencari petugas yang bekerja. Akhirnya bukuku yang merupakan teman hidupku ketemu juga. Ketika aku ingin pulang, aku melihat ayah. Ayah sedang mengelap kaca luar museum. Kejadian apalagi yang menimpa ayahku ini. Kali ini aku ingin mencari tahu apa yang sedang ayah lakukan di sini.
Setelah kuamati selama 5 menit, ayah pun mengepel lantai. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat di depan mataku. Karena ketidakpercayaanku, aku bertanya dengan satpam yang kulihat kemarin mengobrol dengan ayah. "Pak, maaf mau nanya, bapak yang sedang mengepel lantai itu, ngapain ya?," tanyaku dengan penasaran. Satpam tersebut pun menjawab, "Iya dek, bapak itu di sini lagi bekerja, ya tugasnya itu mengelap kaca, mengepel lantai, menyapu dedaunan yang berterbangan dari pohon, kenapa emangnya dek?."
Ya awalnya aku kira ini pekerjaan sampingan ayah. "Gapapa pak, saya ini anaknya," jawabku. Tiba-tiba satpam itu memberikan daftar riwayat pekerjaan ayah untuk memastikanku kalau ayah itu beneran bekerja di sini sebagai petugas kebersihan. Ketika aku melihatnya, aku salfok kepada pekerjaan-pekerjaan ayah sebelumnya di daftar itu. HAH, SEBELUMNYA AYAH BEKERJA SEBAGAI KULI BANGUNAN?!
Tiba-tiba aku terperangah. Kupingku menjadi tuli sesaat. Mataku juga menjadi buram. Air ludah pun mengalir dari mulutku menuju ke tenggorokan. Jantungku seakan-akan berhenti dalam hitungan detik. Mukaku dipenuhi dengan linangan air asin.
Selama ini ayah bohong?! Ya, ayah bohong. Selama ini ayah mengaku bekerja di perkantoran dalam gedung. Ayah menceritakanku betapa indahnya bekerja di atas gedung pencakar langit itu. Memandang semarak kota Jakarta yang tiada lawannya. Semuanya.. serba palsu. Ayah bohong kalau selama ini dia mempunyai pekerjaan yang layak. Ayah bohong kalau selama ini dia tidak pernah kelelahan. Ayah bohong bahwa dia tidak lapar saat setiap kali aku membelikannya makanan. Ayah bohong tentang caranya selama ini mendapatkan selembar uang. Ayah bohong bahwa dia mempunyai segalanya, termasuk kebahagiaan. Semua kebohongan itu dilakukannya demi aku. Kenapa yah.. kenapa..
Aku pun lari sambil menangis menuju rumahku. Depresi, kecewa, hampa, dan rasa terpukul pun menghampiriku, seakan-akan selama ini aku hidup di bawah bayangan kebohongan ayah. Lariku tiada henti, tidak tahu lagi kemana tujuanku selain.. rumah.
Saat depan rumah, aku melihat preman yang sama dengan hari itu di dalam rumahku sambil membanting dan menghancurkan barang-barang. Mulai dari tv, vas bunga, kursi, bahkan lampu hias. Saking kagetnya aku, rasanya aku ingin pingsan dan jantungku serasa ingin copot. Aku pun langsung masuk untuk mencegah preman itu. Tiba-tiba aku pun diancam dengan pisau.
"Kamu anaknya Pak Abraham kan? Mana uangku? Bayar sekarang atau saya hancurkan rumah kalian dalam sekejap," kata preman itu kepadaku. Hah, uang? Aku tidak mengerti apa maksud dari preman tersebut. "Se.. sekarang keluar dari rumahku dan kita bicarakan di luar, gimana?," kataku dengan berusaha tetap tenang.
Kemudian kami bicara di teras. "Ayahmu punya hutang sebesar 25 juta! Ia berjanji akan melunasinya sebelum akhir bulan Juli ini, namun apa buktinya?! Ia masih tidak membayarnya sampai saat ini juga!," kata preman tersebut. YA TUHAN, COBAAN APALAGI INI? TIDAK, INI BUKAN AYAHKU, BUKAN AYAHKU! Ayahku tidak mungkin berhutang dengan preman jalanan. Apalagi 25 juta!? Haha, sangat tidak mungkin. Mungkin preman ini sedang mencoba untuk mempermainkanku.
Namun, itulah kenyataannya. Ayah.. memang berhutang sebesar 25 juta. Itu yang dikatakan oleh warga yang melihatnya sebagai saksi mata saat itu. Kemudian, preman itu berkata, "Jika ayahmu tidak melunasinya dalam waktu tiga hari ini, habislah kalian! Itu waktu yang cukup lama yang bisa kuberikan, ini toleransi terakhirku, mengerti?." Preman tersebut meludah ke lantai teras dan langsung angkat kaki dari rumahku.
Aku ingin semua kejadian itu hanya mimpi. Kemungkinan besar alasan ayah berhutang karena gaji seorang kuli bangunan itu hanya seberapa. Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi ayah ingin mengurusi dan memenuhi kebutuhanku. Aku mengerti itu semua ayah lakukan demi aku, tapi kenapa harus berbohong sampai segitunya.. bahkan ayah nekat untuk berhubungan dengan sekelompok preman. Kenapa justru aku yang merasa malu dan berdosa. Tidak kusangka, ayahku sendiri penuh dengan surprise dan secret.
Aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rumah sambil menghela napas. Rasanya tidak kuat untuk membereskan serpihan-serpihan kaca dan barang lainnya yang berserakan di lantai. Ketika aku ingin membereskan pecahan keramik dari vas bunga di lantai, tidak sengaja aku menemukan empat potongan foto yang robek.
Jika disambungkan akan menjadi satu foto yang utuh. Ketika aku menyambungkannya, terbentuklah gambar satu keluarga yang asing. Tidak ada satupun dari mereka yang kukenal, kecuali.. ayah. Ayah lagi, lagi, dan lagi. Kenapa semuanya selalu bersangkut paut dengan ayah. Siapa sebenarnya ayah ini. Apa hubungannya dengan keluarga yang ada di foto ini.
Akhirnya ayah pulang juga. Ya, ia datang membawa uang. Tak perlu ditanya lagi darimana ayah mendapatkan uang itu. Ayah pun datang ke arahku dan ingin memelukku. Aku spontan menghindar. "Lah, kenapa La? Apa ada yang salah?," tanya ayah dengan bingung kepadaku. "Yah, ayah habis darimana? Kok pergi ga bilang-bilang?," tanyaku balik. Ayah pun menggeleng-geleng. "Ayah habis dari warung La, ini ayah bawain spaghetti," jawab ayah dengan menggaruk kepala. Jawaban yang sangat mengecewakan. Haha, setiap kalimat dipenuhi dengan kebualan. Bisa-bisanya ayah membeli spaghetti dengan uang itu.
Sumber: