Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

Selasa 07-03-2023,11:27 WIB
Editor : Admin

Keduanya mencari tempat ternyaman dan berakhir duduk di salah satu tepian gedung. Kaki mereka menjuntai menghadap jalanan di bawah walau ada pijakan lantai di bawah yang melindungi. Auryn menghirup udara dingin yang sempat membuatnya bergidik dalam-dalam, kemudian ia membuangnya dengan leluasa seperti tak hanya udara yang keluar, namun juga rasa cemasnya.

Mereka sempat diam sejenak selama beberapa menit. Menatapi kota dari atap gedung tinggi yang jarak pandang terjauhnya jugalah sebuah gedung. Kalau menunduk, di bawah mereka adalah jalan yang dilintasi berbagai macam mobil berlalu lalang. Jan menyambungkan pengeras suara itu ke ponselnya, mulai menyetel lagu dalam daftar putar acak untuk menemani pembicaraan mereka yang entah akan membicarakan apa malam ini.

Anything You Want – Reality Club terputar bersamaan dengan suara ramai lalu lintas Kota Hamburg. Setelah isi minuman kaleng di tangannya sisa setengah, Jan menengguknya habis dalam waktu singkat. “Hah...” Ia mengelap bibirnya dan tertawa kecil. “Minumanmu sudah habis?“ Auryn yang tengah melamun menatap kosong pemandangan menoleh, tersenyum, lalu menggeleng. “Dicicil, ngirit. Hanya satu botol jatahnya, “ ucapnya bercanda.

“Minum saja soda saya yang satu lagi.“

“Enggak, ah. I’ll be like Mrs.Puff (aku akan seperti Nyonya Puff) Kembung.“ (Di serial SpongeBob Squarepants, ada karakter Nyonya Puff, Ia adalah ikan buntal.)

Jan tertawa tanpa melepas pandangannya dari wajah Auryn yang dibalut gelap. Hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu gedung-gedung sekitar dan lampu darurat atap. Kegelapan itu tak sedikitpun merenggut bagian dari Auryn yang ia kagumi. Selama dia Auryn, apapun itu, rasa kagumnya tak akan berkurang dengan sebab.

Pria itu tersenyum rapat dan tak berkedip. Auryn yang ditatap sedemikian rupa sampai berhenti tertawa dan menoleh canggung. “Mengapa kau melihatku begitu?“ Bukannya menjawab, Jan malah memicingkan mata dan menggerakkan kepalanya dari kanan ke kiri. Gerakan Jan yang tiba-tiba itu tentu saja membuat bola mata Auryn mengikuti pergerakannya. “Apa, sih?“

“Percayalah dalam dirimu, Auryn. Never be sorry for being you. You're the realest person i've seen in this full-of-fake world (Jangan pernah menyesal menjadi dirimu. Kamu adalah orang paling nyata yang pernah saya lihat di dunia yang penuh dengan kepalsuan ini). Kamu tahu? Saat saya menyadari bahwa kamu adalah seorang ‘dia’, semua orang di ruangan itu seolah-olah menghilang. Berbicara dengan kamu adalah bagian favorit ketiga saya hari ini. nomor satu adalah melukis, nomor dua adalah basket. I wish you could see yourself through my vision to see how amazing you are (Saya berharap kamu dapat melihat diri kamu melalui visi saya untuk melihat betapa menakjubkannya kamu). Saya ingin menjadi bahu bagimu untuk bersandar setiap kali kamu menangis, menjadi sahabat dan temanmu, also be your 911” (juga menjadi 911 bagimu) (911= nomor telepon tunggal di Amerika Serikat)

Auryn tersedak mendengarnya. Hal-hal seperti ini, tak akan pernah mempan membuatnya merasa lebih baik. Senang? Tentu. Namun percaya? Belum tentu. Terkadang orang mengatakan itu hanya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya, dan sebagai orang yang tak mudah percaya, baginya semua perkataan seperti itu di saat seperti ini adalah omong kosong.

Namun ucapan Jan barusan...rasanya...asing. Seperti terhipnotis, berkat beberapa kalimat yang bahkan tak menyebut dirinya berharga secara terang-terangan saja dapat langsung membuat dirinya merasa lebih baik. Laki-laki itu...memang...selalu pandai berkata-kata.

“You're good with words (Kau bagus dalam berkata-kata).” kata Auryn sambil tertawa.

Jan membalasnya dengan kekehan kecil sambil melihat kakinya yang berayun acap kali menabrak susunan batu bata yang ia duduki. Laki-laki di sampingnya mengambil satu kaleng yang belum tersentuh, dan bertanya sebelum membukanya. “Kamu mau ini?“ Auryn menggeleng. “Minum saja.”
“But i don't even love myself how can people love me (Tapi aku bahkan tidak mencintai diriku sendiri, bagaimana mungkin orang lain dapat mencintaiku)” Auryn tiba-tiba saja menggumamkan kata-kata itu namun ternyata suaranya terdengar sampai membuat Jan menoleh.

“You don't (Kamu tidak) ?” tanya Jan memastikan.

Auryn terkejut dan terkekeh malu karena tak sengaja terdengar.
“I can do that for you if you don't love yourself.” (Aku bisa melakukannya untukmu jika kamu tidak mencintai dirimu sendiri).

Auryn memutar bola matanya dan memukul lengan Jan dengan botol kosong yang tersisa. Keduanya sama-sama tertawa. Bedanya, yang perempuan tertawa karena menganggap laki-laki itu bercanda. Sedangkan yang laki-laki tertawa karena lega setelah memberanikan diri mengungkapkannya walau tersirat. Biasanya, kalau Jan bercanda, ia tak akan merasa lega setelah berucap hal-hal seperti itu. Kalau serius, jadi lega. Sebab sulit rasanya untuk memberanikan diri setelah mengetahui kalau ucapannya pasti tidak akan dianggap serius oleh siapapun.
Auryn kemudian berdiri dan membereskan seluruh sampah bekas makanan dan minuman yang menemani mereka sepanjang mengobrol.

Mencoba mencari tempat sampah terdekat untuk membuangnya. Kini, lagu First Love – Nikka Costa mulai terputar. Membuat suasana yang semula hangat namun serius berubah menjadi 'sesuatu' lain yang menyenangkan.
Setelah membuang sampah-sampah di tong terdekat, Auryn kembali dengan tangan kosong. Menghampiri Jan yang membuka jas tebalnya dan menggelarnya menjadi alas. “Mau ngapain?” tanya Auryn. Laki-laki itu merebahkan dirinya dan mengerang. “Sini. Lihat bintang,” ucapnya sembari bergeser dan mempersilakan Auryn ikut merebah di sisinya yang tersisa kurang dari tiga puluh senti.

Kategori :