Auryn mengitari makam selama sepuluh menit dan berhenti didepan batu nisan yang bernama Jan Klugenisch. Auryn meletakkan buket bunganya, lalu menatap makam didepannya dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan.
“Halo Jan,” ucapnya. Kini ia ingin menahan air matanya agar tidak jatuh karena sedang bersama teman-temannya Jan disampingnya.
“Jan, aku datang,” Auryn sudah tidak dapat mengontrol nada suara yang lemah dan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Jan hari ini aku ulang tahun ke 18 tahun, lho. Kau tak ingin merayakannya denganku?”
Auryn menunduk, isak tangis mulai terdengar dari bibirnya. Semakin lama, tangisan itu terdengar begitu pilu.
Telah kubuka lagi lembaran-lembaran tentang diksi yang telah kau ucap,
sembari kubaca dengan lahap. Naasnya sang madyapada tak mengijinkan kau menetap.
Dan kita adalah dua atma,
yang tidak diperbolehkan semesta
untuk mencari harsa bersama.
Dengan semua kemungkinan yang ada, aku hanya berharap bahwa,
mungkin—mungkin saja—kita dapat bersama di beberapa kehidupan lain.
Karena ini bukanlah akhir bahagia yang semua orang bicarakan,
ini bukan yang seharusnya terjadi, Jan.
—SELESAI—
Sebuah Kisah Cinta yang Tak Kunjung Dimulai.