Cerpen Mampir Karya Maria N Pakpahan

Selasa 07-03-2023,11:27 WIB
Editor : Admin

Sebuah kekuatan magis lantas seakan menggerakkan kedua tanganku di udara. Aku menari-nari mengikuti irama dari air mancur yang indah itu. Dalam tarianku, aku merasa dapat menyatu dengan air mancur itu. Lewat penyatuan itu, aku merasa aku dapat lebih mengenal diriku sendiri.

Mencintai, barangkali adalah mengenal diri sendiri. Tidak ada ruang di kepala dan di hatiku yang tak dapat menampung kehadiran air mancur menari yang berada di hadapanku itu.

Sudut mataku dapat menangkap kerlap-kerlip yang berpadu padan dengan geliat air yang menari di air mancur itu. Semakin aku memandangi air mancur menari tersebut, rasanya aku tak ingin melepaskan pandanganku walau barang satu detik saja. Sungguh, aku amat mencintai air mancur menari ini. Seakan-akan aku ingin menyingkirkan segala kekalutan pikiranku, dan terus menari bersamanya, ditemani biasan laser dan lampu hingga pagi menjelang.

Air mancur itu mampu menenangkan berbagai kecamuk yang ada di hatiku. Betapa banyak kabut di pikiranku dapat sirna. Senyumku pun baru dapat mengembang, pelan namun pasti disaat memandangi siluet-siluet air yang menari-nari diseberang sana.

Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sedari tadi aku merasa sedang diperhatikan. Lantas aku menoleh ke arah kanan mencari tahu. Aku melihat seorang laki-laki, bertubuh tinggi nan tampan. Ia berjalan perlahan ke arahku. Pria itu dibaluti dengan kaus berlapisan jas, “Hi” sapa pria itu tiba-tiba dengan senyum tipis di wajahnya. “Jan Klugenisch?” ucapku di dalam hati. Lalu dengan segera balik menyapanya “Oh, hi Jan.”

---

Saya menatap perempuan di depan saya lama. Surai kecokelatannya yang jatuh terurai sedikit membuat mata saya semakin menelisik. Setelannya tak jauh berbeda dengan yang dulu, dress agak mencolok namun tetap terlihat menawan. Bukannya saya subjektif, saya membenci selain warna hitam, tetapi bagaimana pun saya menyanggah, dress itu terlihat cocok dengannya. Tak sadar ujung bibir saya tertarik membuahkan ukiran senyum.

“Schön.” (cantik) kata ini tanpa disengaja terlontar begitu saja dari mulut saya. “Hah? apanya?” tanya gadis itu kebingungan. Suara halusnya nyaris melumpuhkan rungu saya. “Du bist schön.” (kamu cantik) sahut saya, dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. “Eh? oh, um.. danke.” (terimakasih) jawabnya terbata-bata, terlihat pipinya memerah salah tingkah, sama seperti dulu. Ia tak pernah berubah, selalu saja menggemaskan. Ujung jemari kaki saya terasa kaku ketika netra kami bertemu. Kini saya terlihat tak lebih dari orang bodoh yang salah tingkah.

“Hari sudah sangat larut, kenapa kamu masih di sini?” tanya saya berbasa-basi. “Farbige Wasserlichtkonzerte.” jawabnya singkat dengan jawaban yang sebenarnya telah saya ketahui sejak awal. “oh, kalau begitu kita sama” sahut saya kembali. Tidak, saya berbohong. Saya di sini bukan untuk menonton konser air mancur ini. Saya disini dengan sengaja ingin melihatnya, melihat senyumnya, melihat tarian bahagianya, dan kedua mata indahnya yang bersinar.

Sejak dulu saya tahu sekali apa yang disukai olehnya. Saya selalu menghadiri event-event seperti ini karena saya tahu, bahwa ia akan selalu hadir. Jika kalian semua bertanya kepada saya hari ini betapa saya mencintainya, bagaimana saya menggambarkan perasaan itu? mengetahui bahwa bahkan di kehidupan lain, tubuh dan pikiran lain, saya akan selalu memilihnya. Tidak akan ada satu alam semesta atau keberadaan di mana saya menginginkan sesuatu atau siapa pun. Aku sangat mencintainya, dan membayangkan hidup tanpanya membuat duniaku berhenti di orbitnya. Jadi, akhirnya saya menjawab. "Aku mencintainya di setiap dimensi, dengan semua ruang dan waktu."

---

“Kamu ingin ikut masuk atau menunggu di luar?” Jan berdiri memegang daun pintu apartemennya yang terbuka. “Di sini saja” sahut gadis itu. Jan masuk ke dalam apartemen studio bernuansa putih dengan kaca besar menghadap kota, tetap membiarkan pintunya terbuka agar Auryn yang berdiri di depan pintu tetap dapat melihatnya. Ia masuk untuk mengambil beberapa cemilan dan minuman dingin yang disimpan di dalam kulkas sebagai bekal perbincangan mereka malam ini. Tak lupa juga satu pengeras suara portabel untuk mendengar musik agar tak sunyi.

Sudah pukul satu pagi sekarang. Awalnya Jan menawari Auryn untuk mengantarkan gadis itu pulang, namun Auryn terus saja menolak. “Tapi ini sudah terlalu larut, Auryn? I know it’s German, but who knows? (saya tahu ini jerman, tapi siapa yang tahu) kita tak akan tahu kapan seseorang akan berbuat jahat.” Auryn lantas terdiam lalu menundukkan kepalanya, “yes.. i know. I just don’t want to go home. (ya.. aku tahu. Hanya saja, aku tak ingin pulang kerumah.) ”

Pria itu tak lama keluar dengan tangan dipenuhi tiga botol minuman soda dan beberapa camilan ringan sampai ia kesulitan menutup pintu. Auryn lantas mengambil alih semua yang ada di tangannya, membantu Jan agar ia dapat menutup pintu dengan tangan kosong. Setelah 'barang tempur' mereka sudah siap, keduanya melangkah agak cepat menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai teratas di gedung ini. Baru setelahnya, mereka naik tangga darurat menuju atap.

Hamburg ramai dan terdengar sayup-sayup bising dari atas sana. Sebuah perbedaan yang mencolok melihat atap yang redup dengan hanya satu penerangan remang-remang, sedangkan di bawahnya Kota Hamburg yang tak pernah mati dipenuhi cahaya. Suara klakson mobil tak lepas terdengar, bersahut satu sama lain seakan memanggil walau dari kendaraan yang berbeda.

Suara bising namun tak asing. Isi kepala Auryn juga sedang sama bisingnya. Bedanya, bukan suara klakson yang berputar dalam kepalanya, melainkan dirinya sendiri yang selalu berdebat dengan sisi dirinya yang tak sejalan. Seakan, kalau boleh ia mengusir, ia hanya ingin punya pendirian dan berhenti berdebat dengan dirinya sendiri.

Kategori :