“Ayo cepat kesini, akan lebih seru jika menganggambar ada temannya. Tetapi ini satu kanvas untuk berdua saja ya.”
“Bukankan lebih baik kita kembali ke art gallery tadi daripada terkena masalah?” Auryn beranjak untuk mengembalikan peralatan yang diambil oleh lelaki yang sedang menyeringai bangga itu. Sebelum dapat melangkah lebih jauh, pergelangan tangannya ditarik secara halus oleh Jan. “Apa kamu yakin? cuacanya bagus jadi saya pikir akan sia-sia tinggal di dalam rumah.”
Pernyataan Jan akurat, angin sepoi-sepoi dan sinar matahari tidak sehebat lagi. Melihat mata Auryn, yang mencerminkan keraguan, ia pun mencoba untuk memastikannya. “Begini saja, jika ada satu ons pun dari kamu yang mau melukis di bawah terik matahari, aku yang akan jatuh jika kita mendapat masalah. Bukannya mereka yang memasang tanda larangan, jadi saya akan memberi tahu mereka bahwa saya pikir itu adalah aktivitas gratis. Tetapi jika kamu ingin di art gallery ya tidak masalah, saya kembalikan ini dulu.” katanya.
Didalam lubuk hati terdalam Auryn, ia berharap dapat melukis pemandangan hijau ini. Bagaimana tidak, panorama yang terbentang di depam matanya mengingatkannya pada hantaran lembah berumput di Swiss. Yah, mungkin tak sedekat itu karena itu hanya taman di tengah kota, bukan lembah yang menakjubkan dengan pegunungan Alpen yang mengelilinginya.
Tak ketinggalan air danau yang berwarna hijau keruh bukannya rona pirus yang memukau, namun pemandangan hijau di depannya memang membuat perutnya menggelitik sangking semangatnya. Sayang sekali jika momen ini dilewatkan.
“Baiklah.. tetapi begitu kita mendapatkan masalah, aku serahkan pada kau untuk menghadapinya ya” balas Auryn dengan mulut yang merengut dan dahi yang berkurut, seolah ia menerima tawaran rencana Jan dengan setengah hati. Untung Jan dapat melihat menembus fasadnya.
“Nih.” Jan menyodorkan earphome kabel berwarna hputih miliknya. “Saya akan mendengarkan lagu-lagu di daftar putar Swiss saya, jadi jadilah tamu saya.”
Jan meraih paruhan earphone untuk telinga kiri dan memposisikan diri di sebelah kanan Auryn. Separuh dari bisingnya suara lautan manusia di taman tergantikan oleh lantunan lagu Love and War in Your Twenties yang mengisi rongga telinga mereka. Venus memungut palet kayu yang duduk manis di dudukan easel dan mulai mencampurkan rangkaian cat yang menghasilkan palet warna Botanic Gardens; jejeran rona hijau untuk ragam dedaunan maupun danau, biru muda untuk menerjemahkan langit menuju terbenamnya matahari yang cerah, putih yang nantinya membentuk gumpalan awan dengan sinar matahari yang mengintip dari baliknya, dan coklat bagi pepohonan.
Jan pun mengambil sebatang kuas ukuran sedang dan mengikuti aksi gadis dengan mata biru nan berkilau dibawah sinar matahari. Kedua insan yang tengah berdiri membelakangi matahari sore hari itu mulai meninggalkan jejak coretan pada papan kanvas saat mereka menyetel dunia disekitar mereka.
Lukisan mereka telah selesai beberapa waktu lalu, dan selagi menyaksikan matahari yang sebentar lagi akan terbenam, mereka berselonjor kaki untuk merilekskan otot yang selama satu jam kebelakang sudah bekerja keras. Warna langit yang tadinya biru dengan sentuhan oranye berubah menjadi oranye dengan kecupan merah muda.
“Jadi, kau melukis sebagai hobi?” tanya Auryn. Laki-laki disebelahnya mengangguk sebagai jawaban dan mulai bercerita mengenai kisah awal mula ia jatuh cinta pada aktivitas melukis.
“Sama seperti kamu, dulu saya juga pernah hopeless (putus asa) sampai butuh pelarian. Bedanya pelarian saya bukan tempat, tapi hobi. Melukis mengalihkan perhatian saya dari pikiran saya sendiri, yang mengerikan, tapi semakin lama saya sadar bahwa saya benar-benar suka melakukannya. Saya akhirnya menemukan kegembiraan hidup kembali melalui melukis.”
Auryn tersenyum saat mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Jan. Itu semua membuatnya berharap bahwa suatu hari, ia akan dapat bersinar sendiri lagi. “Auryn, what’s your story (apa ceritamu)?” tanya Jan yang memberi penegasan pada kata your. “Silahkan jika kamu ingin bercerita, I’m all ears (aku mendengarkan).”
Lalu ceritapun dimulai, Auryn benar-benar menceritakan semuanya. Ya, semua. Entah apa yang membuat Auryn menjadi sangat terbuka dengan Jan. Padahal sejak dulu ia tak pernah sekalipun menceritakan kisah-kisahnya kepada seorangpun. Sekarang apa ini? mengapa Auryn menjadi seterbuka ini? sebenarnya apa faktornya? apa alasannya?
Hari ini mereka telah menghabiskan waktu untuk bertukar cerita hingga langit menggelap. Sebelum beranjak, Auryn tertawa kecil atas percakapan yang mereka tukar. “Lihatlah, kita begitu terbuka tentang masalah hidup kita, bahkan pada saat kita tak mengetahui warna favorit satu sama lain.”
“Oh ya? warna favorit? kurasa tidak.” Sahut Jan. “Aku mengetahui warna favoritmu, Auryn. Aku mengetahuinya.” Lagi-lagi dekik manisnya menampakkan diri.
“Beige, right? (putih kuam, kan)” Tebak Jan dengan tepat. (Putih kuam merupakan suatu warna yang dijelaskan sebagai suatu warna cokelat pasir kekuningan pucat, sawo matang kelabu, Cokelat kekuningan kelabu terang, atau cokelat pucat hingga kelabu.)
Auryn terkejut mendengarnya. “Bagaimana dia bisa tahu?” ucapnya dalam hati. “Kau tahu darimana?” tanyanya penasaran kepada Jan.
“Sejak dulu, apapun yang bersangkutan denganmu, selalu membuat saya penasaran, Auryn. Hanya saja, dulu saya tak memiliki cukup keberanian untuk sekedar.. menyapamu. Haha. Cemen sekali bukan? tapi disaat saya mendengar bahwa kamu akan melanjutkan sekolahmu di Jerman, saya merasa ini adalah kesempatan yang amat besar bagi saya, dan saya tak ingin lagi menyia-nyiakannya.”
“Hal termudah yang pernah saya lakukan adalah memilih kamu, Auryn.