Pajak Karbon Sebagai Solusi Menuju Era Berkelanjutan Bangsa
Penerapan Pajak Karbon merupakan salah satu terobosan baru dan langkah maju dalam upaya mengatasi tantangan perubahan iklim global--
Salah satu instrumen yang dibahas adalah pengenalan Pajak Karbon, yang bertujuan mendorong industri dan individu untuk mengurangi jejak karbon mereka.
Melalui kerjasama internasional ini, setiap negara berkomitmen untuk mencari solusi ekonomis yang efektif dalam mengatasi tantangan perubahan iklim, sambil memperhatikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat, baik pada negara, masyarakat maupun lingkungan.
Indonesia sebagai anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memiliki target penurunan tingkat emisi sebesar 29% hingga 2030.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah menerbitkan kebijakan pemberian insentif pajak bagi pelaku industri dan pengguna barang yang memproduksi karbon dalam jumlah besar dengan penerbitan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pasal 13 ayat 1 Undang Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyatakan Pajak Karbon dikenakan dengan tujuan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap barang yang menghasilkan emisi karbon, namun tidak sebatas hanya pada pembakaran bahan bakar fosil, namun juga aktivitas yang menghasilkan emisi karbon seperti yang berasal dari sektor energi, pertanian, kehutanan, industri serta limbah. Seperti dalam kegiatan produksi, distribusi hingga konsumsi
Pajak Karbon adalah pajak yang sejenis dengan pajak lingkungan. Pajak ini diterapkan untuk mengatasi kerusakan lingkungan, yang besaran pajaknya diperhitungkan dengan nilai kerugian yang diterima oleh oleh pihak diluar transaksi.
Contoh : apabila suatu perusahaan berdiri ditengah pemukiman, maka akan terdapat limbah dan polusi udara yang dihasilkan atas kegiatan produksi perusahaan tersebut yang akan mengganggu warga sekitar.
Maka akan diterapakan pajak lingkungan atas dampak kerusakan lingkungan yang dihasilkan. Contoh penerapan pajak lingkungan diberbagai negara adalah pajak rokok, pajak gula dan pajak karbon.
Dalam tahap awal Pajak Karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan penetapan harga Rp30 per kilogram CO2 yang dihasilkan (Bab VI Pasal 13 ayat 9 UU No 7 Tahun 2023 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) .
Estimasi potensi penerimaan negara yang didapatkan dari Pajak Karbon mencapai nilai Rp23,651 triliun di tahun 2025.
Meskipun jumlahnya tak sebanyak pendapatan negara lain dengan kebijakan serupa, dana penerimaan yang diperoleh dapat dialirkan kepada berbagai sektor pendukung terciptanya lingkungan rendah emisi, sumber investasi bagi proyek pembangun ekonomi hijau, dan kebijakan yang mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.
Secara tidak langsung pengenaan Pajak Karbon atas penggunaan bahan bakar berbasis karbon atau yang menghasilkan emisi karbon, akan mendorong perubahan perilaku anak bangsa dalam membeli barang berkarbon dengan emisi tinggi atau menggunakan aktivitas yang menghasilkan karbon yang ber-emisi tinggi.
Masyarakat secara tidak langsung akan di “paksa” untuk mendukung upaya penurunan tingkat emisi karbon yang ada dengan membeli barang-barang ber-emisi karbon rendah atau melakukan aktifitas perekonomian yang menggunakan alat-alat produksi dengan emisi karbon yang rendah.
Tantangan ke depan yang dihadapi adalah kondisi ekonomi negara yang belum stabil, sehingga upaya pengenaan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan pada harga bahan bakar fosil yang berperan penting dalam kegiatan produksi barang dan jasa sehingga akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesejahteraan sosial, hingga melemahkan daya saing industri nasional.
Sumber: