AMANAH YANG KELAK AKAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN
Ustadz Zakiudin, Kepala SDIT Alfurqon--
Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun.. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah (Shalallahu 'Alayhi wa-Aalihi wa-Sallam) tidak mengabulkan keinginan remaja itu.
Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah (Shalallahu 'Alayhi wa-Aalihi wa-Sallam) dengan potensinya yang lain.
Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah (Shalallahu 'Alayhi waAalihi wa-Sallam) karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an.
Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris pencatat wahyu.. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit (Radhiyallahu 'Anhu).
Atau jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah (Rahimahallah) yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah.
Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu.
Kelak, ia tumbuh menjadi jajaran Ulama Hadits dan Imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad bin Hanbal (Rahimahullah).
Atau jadilah orangtua yang terus mendoakan anaknya. Seperti Ummu Habibah (Rahimahallah). Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya.
Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya, “Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaan-Mu.
Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin!”.
Doa-doa orangtua itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya Imam Syafi’i (Rahimahullah).
Atau jadilah orangtua seperti Luqman, yang tidak hanya menyiapkan mental putranya menghadapi kehidupan nyata di dunia tapi dia juga sudah menyiapkan putranya untuk menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Sebagaimana Allah gambarkan dalam QS Luqman ayat 13 – 19 :
13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Sumber: