Risiko Ekonomi Global Meningkat, Daya Beli Masyarakat Terancam, Begini Strategi Kemenkeu
RADAR PALEMBANG - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu memaparkan kondisi dan gambaran risiko ekonomi global meningkat yang mengakibatkan daya beli masyarakat terancam.
Sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi karena rantai pasok global terganggu dan menghambat laju ekspansi manufaktur.
Meskipun Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur di bulan Juni yang masih berada pada zona ekspansif di level 50,2 (Mei 50,8), bukan berarti Indonesia aman dari ‘gonjang-ganjing’ geopolitik dunia.
Risiko ekonomi global meningkat merupakan dampak dari ketidakstabilan geopolitik dunia dan kawasan, khusunya Tiongkok yang juga akan dirasakan oleh Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Thailand, dan Filipina. Daya beli masyarakat semua Negara itu terancam.
“Pemerintah akan terus memonitor dinamika dan prospek dan risiko ekonomi global ke depan serta memitigasi berbagai dampak yang mungkin timbul,’’jelas Febrio Kacaribu, Sabtu 2 Juli 2022 sebagaimana mengutip dari rilis dan berita di halaman web kemenkeu.
Pada kesempatan itu, Febrio mengungkapkan gambaran daya beli masyarakat Indonesia lewat data Inflasi Juni 2022 yang masih tergolong moderat berbanding Negara lain. Inflasi Indonesia terjaga pada level 4,35 persen (year on year/yoy).
Kendati demikian, ke depan daya beli masyarat terancam akibat geopolitik global yang mengganggu rantai pasokan barang dan jasa. Dampak selanjutnya adalah ekonomi nasional akan melemah.
Febrio Kacaribu menyebut, laju inflasi yang tinggi juga terjadi di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina dan Turki, dengan inflasi masing-masing mencapai 60,7 persen dan 73,5 persen.
“Pemerintah, melalui instrumen APBN, berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap terjaga,” jelas Febrio.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah tetap terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun internal.
BACA JUGA:Ditjen AHU Rangsang Kemudahan Berusaha, Izin Perusahaan Perseorangan Tak Perlu Akte Notaris
Dalam hal inflasi di bulan Juni yang mengalami peningkatan, utamanya disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang signifikan mencapai 10,07 persen (yoy) (Mei 6,05 persen).
Mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan, Pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal. Ini bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat, serta menjaga pemulihan ekonomi.
Sumber: