Memarketing Kemudahan Berusaha, Mendulang Investasi, Kajian E-Service Quality dan Pemasaran Sektor Publik
Adi Yanto Magister Administrasi Publik Universitas Sriwijaya.-ist-
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir implementasi kebijakan tersebut dimulai sejak tahun 2021. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kabupaten Ogan Komering Ilir telah memperbarui sistem OSS dari versi 1.0 ke OSS versi RBA.
Dari aspek regulasi, kebijakan ini didukung oleh Peraturan Bupati Nomor 41/2021 tentang Perizinan Berusaha, Perizinan Non Berusaha, dan Pelayanan Non Perizinan. Pada tahun 2023, ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha, yang disesuaikan dengan amanat UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya (PP 5/2021 dan PP 6/2021).
Dari aspek kelembagaan, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir juga telah menyesuaikan struktur lembaga terkait jabatan fungsional sesuai dengan Permendagri 25/2021. Namun, dari aspek digitalisasi, Kabupaten Ogan Komering Ilir belum memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) digital yang memadai, dan kapasitas jaringan internet masih belum mumpuni dan belum mencakup seluruh wilayah.
Dari perspektif pelaku usaha, kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengakses OSS RBA bervariasi. Mayoritas pelaku usaha mengakui bahwa mereka memiliki akses terbatas terhadap informasi OSS RBA, yang mereka peroleh secara mandiri atau melalui sosialisasi yang terbatas dalam frekuensi dan kedalaman informasi. Di sisi lain, dalam hal regulasi, pelaku usaha juga belum memahami secara menyeluruh mengenai turunan-turunan UU Cipta Kerja.
BACA JUGA:Angka Kemiskinan di OKI Menurun, Konsisten Sejak 7 Tahun Terakhir
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengimplementasian sistem perizinan berusaha terintegrasi secara Elektronik atau dikenal dengan Online Single Submission (OSS) berbasis resiko di atas perlu mendapat perhatian khusus, terutama dari sisi kualitas pelayanan publik berbasis elektronik serta upaya pemerintah daerah memasarkan kebijakan tersebut.
Pelayanan Publik Berbasis Elektronik
Mick, Gleen, dan Fournier (1995) memperkenalkan Electronic Service Quality (E-S-Qual) sebagai alat untuk mengukur kualitas layanan elektronik.
Mereka mengamati bagaimana pengguna teknologi mengevaluasi pengalaman mereka dalam menggunakan layanan publik dan swasta berbasis teknologi, dengan hasil bisa berupa penilaian positif atau negatif tergantung pada dominasi kemampuan teknologi yang dipersepsikan oleh pengguna.
Perkembangan lebih lanjut, Parasuraman dan Malhotra (2000) mengembangkan skala E-Core Service Quality, yang terdiri dari empat dimensi utama: efisiensi, fulfillment (pemenuhan), system availability, dan privasi, yang masing-masing menggambarkan aspek kemudahan akses, kepatuhan terhadap janji layanan, ketersediaan sistem, dan keamanan informasi.
Selain meningkatkan kualitas pelayanan publik berbasis elektronik, pemerintah juga dituntut lebih responsif dan akuntabel dalam memberi layanan kepada publik. Layaknya sektor swasta yang fokus pada konsumen melalui marketing ataupun pemasaran.
Mintz (2006) mengatakan marketing merupakan salah satu strategi yang biasanya digunakan oleh sektor swasta yang dapat diterapkan pada sektor publik untuk meningkatkan pelayanan.
Tujuan dan manfaat dari penerapan marketing di sektor publik, seperti yang disebutkan oleh Kotler & Lee (2017), termasuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan pemanfaatan layanan, meningkatkan pembelian produk pemerintah, meningkatkan kepatuhan hukum masyarakat, meningkatkan kesehatan dan keamanan publik, mendorong perilaku pro lingkungan, menurunkan biaya penyelenggaraan layanan, meningkatkan kepuasan pelanggan, dan mendapatkan dukungan masyarakat.
Sumber: