Ekonom UGM Dorong Pemerintah Segera Evaluasi Penerima Gas Murah
Ilustrasi --dokumen radarpalembang.disway.id
JAKARTA, RADARPALEMBANG.COM - Pemerintah diminta untuk mengevaluasi sektor industri dan perusahaan penerima harga gas murah yang dinilai telah membebani keuangan negara.
Pasalnya sejak diberlakukan pada 1 April 2020, program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan bandrol USD 6 per MMBTU telah membuat tekor negara hingga Rp 29 triliun.
Sementara penerimaan negara dari para pelaku usaha penerima subsudi gas hulu diperkirakan hanya sekitar Rp 15 triliun. Hal ini ditegaskan Pengamat Ekonomi UGM Eddy Junarsin PhD, Selasa 8 Agustus 2023.
Evaluasi oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi yang membebani keuangan negara jelas harus dilakukan. Tetapi harus ada riset dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian PPN/Bappenas.
BACA JUGA:PGN dan Pertamina NRE Kerjasama Bisnis Rendah Karbon Berkolaborasi Dukung NZE
"Jadi harus dilihat apakah manfaat yang didapatkan dari program HGBT sejauh ini melebihi subisidi yang dikeluarkan pemerintah,” tegas ekonom UGM ini.
Eddy menambahkan program HGBT ini otomatis menguntungkan industri yang masuk di dalamnya.
Menurutnya tidak mungkin negara terus menerus memberikan subsidi, sementara penerima subsidi untungnya terus membesar karena subsidi itu.
“Untuk jangka pendek subsidi harus tetap ada, tetapi perlu berbagai perbaikan, termasuk kualitas produk yang dihasilkan harus semakin baik,"lanjut Eddy.
BACA JUGA:SKK Migas Komitmen Dorong TKDN di Sumbagsel
Selain itu, komunikasi pemerintah harus lebih baik seperti misalnya alasan penetapan HGBT, industri yang dipilih, manfaat yang didapatkan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, program harga gas USD 6 per MMBTU menyebabkan penerimaan bagian negara hilang Rp 29,39 triliun.
Hilangnya penerimaan negara sebesar itu terjadi akibat penyesuaian harga gas bumi setelah memperhitungkan kewajiban pemerintah kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Pemerintah menanggung penurunan penerimaan negara sebesar Rp 16,46 trilun pada 2021 dan Rp 12,93 triliun untuk tahun 2022.
Sumber: