Sementara itu pemerhati pendidikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyoroti kebijakan yang memberatkan orang tua serta menggarisbawahi bahwa kegiatan studi wisata atau study tour justru cenderung lebih merugikan.
"Kebijakan ini mendorong paksaan. Ada tekanan agar siswa ikut, dengan ketentuan pembayaran yang memaksa, baik mereka ikut atau tidak," ujar Ubaid Matraji.
Ia menambahkan bahwa tarif study tour yang bervariasi, mencapai satu hingga lima juta rupiah, menjadi beban berat bagi orang tua, terutama yang tidak mampu membayar secara langsung.
Ubaid Matraji juga menekankan bahwa dampak negatif dari kebijakan ini jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Selain beban finansial bagi orang tua, kegiatan ini juga menimbulkan masalah psikologis bagi siswa yang merasa terpaksa mengikuti.
Maka dari itu, JPPI menyerukan agar pemerintah dan dinas pendidikan segera mengeluarkan aturan yang lebih ketat terkait pelaksanaan study tour.
"Aturan yang diperlukan tidak hanya sebatas kewajiban ikut atau tidak, tetapi juga mengatur mekanisme pembayaran dan konsekuensinya juga saluran pengaduan," ujar Ubaid Matraji seperti dikutip dari rri.co.id Senin, 13 Mei 2024.
BACA JUGA:Lengkap Wilayah Zonasi PPDB SMA Negeri di Palembang Tahun Ajaran 2024/2025
Ubaid menekankan perlunya melibatkan orang tua, kepala sekolah, dan guru dalam merumuskan aturan yang lebih adil dan responsif terhadap kondisi masyarakat.
Sementara itu, terkait manfaat sebenarnya dari study tour, Ubaid Matraji menegaskan bahwa selain sebagai acara rekreasi, tujuan utamanya haruslah sebagai alat pembelajaran yang efektif.
Namun, jika kondisi saat ini menunjukkan bahwa study tour lebih menjadi beban daripada manfaat, maka evaluasi menyeluruh sangatlah penting dilakukan.