PALEMBANG, RADAR PALEMBANG - Berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UMKM merupakan usaha ekonomi produktif dilakukan perseorangan atau badan usaha.
Untuk membedakan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah, salah satu parameternya mengunakan omzet dan omzet tertinggi sebesar Rp 50 miliar. Pengunaan omzet juga ditemukan di peraturan Pajak Penghasilan.
Omzet digunakan sebagai dasar pelaksanaan kewajiban dan/atau hak Wajib Pajak. Pengunaannya sesuai omzet yang diperoleh. Ada dua lapisan omzet, pertama tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun dan berikutnya omzet maksimal Rp 50 miliar setahun.
BACA JUGA:KPP Madya Palembang Apresiasi Pembayar Pajak Terbesar 2022
Di sini diketahui, antara Undang-undang UMKM dengan Peraturan Pajak Penghasilan mengatur batas maksimal omzet yang sama yaitu Rp 50 miliar setahun.
Omzet Tidak Melebihi Rp 4,8 Miliar
Di akhir tahun 2022, Pemerintah menerbitkan PP No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55) mengantikan PP 23 Tahun 2018 (PP 23). Sama seperti PP 23, PP 55 diperuntukkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) dan Wajib Pajak (WP) Badan dengan omzet tidak lebih Rp 4,8 miliar setahun.
PP 55 mengecualikan WP OP yang mendapat penghasilan dari jasa atas pekerjaan bebas mengunakan PP ini. Sedangkan untuk WP Badan yang dimaksud PP 55 seperti Koperasi, CV, Firma, PT, Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa dan Perseroan Perseorangan dapat mengunakan PP 55. Selain itu, WP Badan yang terbentuk dari WP OP yang mendapat penghasilan dari jasa atas pekerjaan bebas atau mengunakan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 31 E UU Pajak Penghasilan (PPh) tidak dapat mengunakan PP 55.
PP 55 memberikan berbagai kemudahan. Diantaranya pertama, pengunaan tarif 0.5% (setengah persen) untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Final. PPh Final didapatkan dari mengalikan omzet sebulan dengan tarif 0.5% (setengah persen) dari setiap tempat usaha.
BACA JUGA:Penyuluh Pajak: Warna Baru Pelayanan Perpajakan
Kedua, pembayaran PPh Final sekaligus menjadi bukti pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Artinya, WP dianggap telah menyampaikan SPT Masa atas pembayaran PPh Final dimaksud. Namun WP masih harus menyampaikan SPT Tahunan PPh.
PP 55 bersifat pilihan. WP UMKM dapat memilih mengunakan tarif 0, 5% (setengah persen) atau tarif umum sebagaimana di atur di Pasal 17 ayat (1a) dan (1b) UU PPh. Namun, WP UMKM harus konsisten.
Jika telah memilih, maka tidak diperkenankan mengunakan opsi lainnya. Berikutnya, ketika WP UMKM memilih PP 55 dan dalam tahun berjalan mendapatkan omzet lebih dari 4,8 miliar, maka WP UMKM diperkenankan mengunakan tarif 0,5 % (setengah persen) sampai dengan Desember tahun berjalan.
BACA JUGA:ePBK-Kemudahan Baru Bagi Wajib Pajak
PP 55 memberikan fasilitas berupa bagian dari omzet sampai dengan Rp 500.000.000 setahun tidak dikenakan PPh Final. Artinya hanya bagian omzet di atas Rp 500.000.000 setahun dikenakan PPh Final. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan menjaga keberlangsungan usaha WP UMKM.
PP 55 juga memberikan keleluasaan bertransaksi dengan Pihak Pemotong atau Pemungut Pajak. Secara umum transaksi dengan Pihak Pemotong atau Pemungut dikenakan tarif 1% atau 1,5% lebih tinggi dibandingkan mengunakan tarif PP 55.
Akan tetapi, PP 55 membolehkan WP UMKM mengunakan tarif 0,5% (setengah persen). Syaratnya, WP UMKM harus menyerahkan salinan Surat Keterangan Pemotongan/Pemungutan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ke Pihak Pemotong atau Pemungut.
BACA JUGA:Realisasi Pajak Palembang Nyaris Capai 100 Persen
Berbagai kemudahan diberikan PP 55 memiliki masa manfaat. Artinya, pengunaan PP 55 dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan WP UMKM dibatasi waktu. PP 55 menyebutkan WP OP diberikan waktu 7 tahun, WP Badan berbentuk CV, Koperasi Firma, Bumdes/Bumdes Bersama dan Perseroan Perseorangan diberikan waktu 4 tahun dan WP Badan berbentuk PT diberikan waktu 3 tahun.