RADAR PALEMBANG – Tudingan sejumlah lembaga Had Hock di negara ini seperti KPU dan Bawaslu jadi bancakan Ormas adalah sebuah kenyataan. Ironisnya oramas -ormas yang membanca lembaga ad hock itu umumnya terafiliasi kepada Partai Politik (Parpol) tertentu.
Berkaca kepada refleksi dari rekruitmen Bawaslu Sumsel, apa jadinya sebuah Pemilu jika peyelenggara diragukan integritasnya karena terafiliasi dan beririsan dengan Partai Politik tertentu? Masihkah kita bermimpi agar ada Pemilu yang berintegritas baik proses maupun hasilnya di negara ini?
Masihkah kita bermimpi adanya sebuah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel sehingga dapat menimalisir korupsi? Sementara kekuasaan yang akan menyelenggarakan pemerintahan itu lahir dari produk Pemilu yang dilaksanakan oleh orang yang tidak independen dan imparsial?
Sungguh sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi jika KPU-Bawaslu jadi bancakan Ormas yang terafiliasi dan beririsan dengan Partai Politik. Proses seperti ini, dapat dipastikan akan melahirkan oligarki, otoritarian dengan bancakan demokrasi.
KPU-Bawaslu jadi bancakan Ormas terkofirmasi pada refleksi dari rekruitmen Bawaslu Sumsel oleh Tim Seleksi (Timsel). Ormas-ormas yang terafiliasi dan beririsan dengan Parpol tertentu mendominasi 12 Calon Komisioner Bawaslu Sumsel yang diloloskan Timsel.
Menukil Radar Palembang.diswsay.id pada tayanyangan 27 Juli 2022, dari 12 nama-nama Calon Komisioner Bawaslu Sumsel yang lolos, dinominasi tiga Ormas, yaitu, HMI, GMNI dan PMII. Refleksi dari Rekruitmen Bawaslu Sumsel menjukkan bukti KPU-Bawaslu jadi bancakan Ormas.
Publik sudah tahu dan sangat terang kemana afiliasi dan beririsannya ketiga Ormas itu. GMNI beririsan dengan PDIP. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebuiah orgaisasi kemahasiswaan yang cukup besar di Indonesia, kader-kadernya tersebar di sejumlah Partai Politik, seperti Golkar, Partai Demokrat, Gerindra dan Nasdem.
BACA JUGA:Soal Calon Komisioner Bawaslu Sumsel Tak Independen, Integritas Pemilu 2024 Dipertaruhkan
Sementara itu, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan underbownya Nahdatul Ulama (NU) yang beririsan langsung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Lihat komposisi 7: 4:1 dari 12 calon komisoner Bawaslu itu. Seolah-olah, ingin mengakomodir parpol-parpol yang banyak menaungi mereka. Karena-kader HMI dapat porsi lebih besar karena memang banyak tersebar di sejumlah Parpol.Sementara itu, GMNI ada 4 orang.
Ini Porsi yang cukup besar. Apa mungkin karena PDIP merupakan partai penguasa dan pemenang Pemilu pada 2019? Sementara, PMII 1 orang. Wajar karena umumnya kader-kader NU afiliasinya PKB meskipun ada 1 atau 2 di Parpol lain.
Sekarang ayo kita main tebak-tembakkan, kira-kira seperti apa komposisi komisioner Bawaslu Sumsel periode 2022—2027. Kemungkinan besar adalah, 2 dari GMNI, 2 dari HMI dan 1 dari PMII. Atau bisa saja, PMII gugur. Maka komposisinya 3 HMI dan 2 GMNI. Atau bisa sebaliknya, GMNI 3 dan HMI 2.
BACA JUGA:Publik Sorot 12 Nama Calon Komisioner Bawaslu Sumsel, Representasi 3 Parpol dan Ormas Tertentu
Sungguh suatu pola permainan yang sudah dirancang sejak dini. Rancangannya dimulai dari membuat rule of low dalam perekrutan oleh Bawaslu Pusat. Apa itu? Mulai dari penetapan keputusan Bawaslu hingga petunjuk teknis pelaksanaan rekruitmen.
Sebelum merekrut komisioner Bawaslu daerah, Bawaslu pusat akan melakukan seleksi terhadap Timsel. Dari sini pengaturan stategi sudah dimulai.
Jika banyak yang mendaftar untuk menjadi Timsel, maka proses seleksinya akan bergantung kepada selera Bawaslu RI, berdasarkan komposisi Ormas yang ada di sana.
Atau bisa jadi, para fungsionaris partai akan mencari calon Timsel—yang tentu saja akan bisa mengakomodir kepentingan politik mereka. Mereka akan mendorong figur itu untuk menjadi Timsel KPU atau Bawaslu.
Bagaimana kalau yang berminat mendaftar menjadi Timsel sedikit atau tidak ada? Orang-orang Bawaslu pusat akan mencari dan menghubungi jaringan mereka yang di daerah agar mau menjadi Timsel. Setelah itu apa? Biarlah nyanyian angin yang menyampaikan.
Permainan yang Vulgar
KPU Bawaslu jadi bancakan Ormas melahirkan proses rekruitmen komisioner menjadi vulgar dan mendapat sorotan tajam oleh publik. Ini nyata sekali dengan komposisi 12 calon komisoner yang diloloskan oleh Timsel.
Apakah itu, kesalahan Timsel? Belum tentu. Mungkin ada orang dari bagian Timsel yang memiliki sebuah idealisme untuk melahirkan para penyelenggara Pemilu yang beritegritas, independen dan imparsial.
Hanya saja, saat menjalankan tugas mereka sudah terkooptasi oleh rule of low yang dibuat Bawaslu RI. Ini dimulai dari pembuatan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) hingga penetapan petunjuk pelaksaaan teknis (Juknis) yang harus dijalankan oleh Timsel yang mereka seleksi dan tunjuk.
Soal adanya titip-titipan itu sudah rahasia publik.
BACA JUGA:FGD Mencegah Berita Hoax Jelang Pemilu 2024, Hate Speech dan SARA Meningkat
Mari kita ambil contoh pada pola rekruitmen komisioner KPU dan Bawaslu periode sebelumnya.
Dalam proses rekruitmen ini, tahapannya adalah, menerima pendaftar calon komisioner. Selanjutnya seleksi administrasi, Tes CAT, tes psykologi dan tes kesehatan lalu tes wawancara oleh Timsel dan selanjutnya fit and proper test oleh komisioner Bawaslu atau KPU RI.
Pada periode sebelumnya, proses rekruitmen dilakukan tahap demi tahap. Artinya, pengumuman mereka yang lolos hasil seleksi dilakukan sesuai dengan tahapan.
Tes CAT misalnya, peserta tes akan langsung mengetahui nilainya. Dengan nilai yang mereka peroleh peserta seleksi Bawaslu atau KPU akan langsung mengetahui apakah mereka masuk daftar yang lolos seleksi atau gugur, dapat mereka ketahui beberapa jam setelah tes CAT selesai.
BACA JUGA:Pemilihan Wakil Bupati Muara Enim, Dewan Segera Bentuk Pansus
Jika mereka dinyatakan lolos, maka berhak untuk mengikuti tes selanjutnya yaitu tes psykologi. Hasil dari tes psykologi ini sifatnya hanya sebuah rekomendasi apakah seorang calon layak atau tidak untuk menjadi Komisioner Bawaslu.
Siapa yang lolos dan tidak lolos dalam penjaringan tahap tes psykologi ini, hasilnya sudah dapat diketahui beberapa hari setelahnya. Ini karena para psykolog yang melakukan tes butuh waktu untuk menganalisa dan menyimpulkan hasil tes.
Mereka yang dinyatakan tidak layak, tidak berhak untuk mengikuti tes selanjutnya yakni tes kesehatan.
Pada tes kesehatan ini, penjaringan berlanjut. Para calon komisioner jika kesehatan dianggap tidak layak maka akan gugur dan tidak berhak untuk maju ke tahapan selanjutnya yakni tes wawancara dari Timsel.
BACA JUGA:PKS Uji Materi Presidential threshold, Hakimnya Seperti itu, Yakin Mau Diterima?
Hasil wawancara diumumkan maksimal satu hari setelah tes wawancara. Di sini juga ada yang gugur. Pada tahap ini, akan terpilih calon komisioner sebanyak 3 kali dari total jumlah komisioner Bawaslu atau KPU.
Selanjutnya, siapa yang akan duduk sebagai komisioner Bawaslu Provinsi, kabuaten/kota penentuannya ada pada Komosioner Bawaslu RI. Mereka akan memilih 10 nama. Urutan lima besar akan duduk sebagai komisioner Bawaslu atau KPU.
Semetara urutan enam sampai sepuluh menjadi cadangan pengganti jika ada komisioner dalam perjalanan tugasnya bermasalah.
Bagaimana dengan tahapan dan proses seleksi Bawaslu Sumsel periode 2022-2027?
Tidak seperti pada periode sebelumnya. Tidak ada peserta yang digugurkan pada setiap tahapan. Pengumuman hasil tes CAT dilakukan secara serempak dengan hasil tes lainnya.
Maka dengan demikian, di sinilah peluang untuk mengutak-atik siapa yang akan lolos atau tidak, bisa terjadi.
BACA JUGA:Limbah Sawit Bakal jadi Pupuk Organik Hayati Cair
Bagaimana dengan proses seleksi administrasi? Untuk proses administrasi tahun ini entah seperti apa metodenya.
Jika mengacu pada tahu-tahun sebelumnya, banyak pendaftar calon komisioner yang gugur atau sengaja digugurkan. Berkas administrasi lengkap, belum tentu bisa lolos untuk mengikuti tes CAT.
Skor penilaian seleksi administrasi biasanya berpatokan kepada:pertama jenjang pendidikan, kedua, pengalaman organisasi, pengalaman menjadi penyelenggara Pemilu dan penilaian makalah terstruktur.
Biasanya pada seleksi administrasi ini, pendaftar yang benar-benar independen dan tidak beririsan dengan Ormas dan partai politik banyak yang digugurkan.
Dalam proses administrasi ini, ada yang namanya rekomendasi dari masyarakat. Masyarakat mana? Ya itu, rekomendasi dari induk organisasi dari pendaftar. Skor ini cukup tinggi dalam seleksi administrasi.
Begitu juga pengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu. Skor mereka yang pernah duduk jadi komioner KPU dan Bawaslu provinsi akan lebih besar daripada yang pernah menjadi komisioner KPU Kabupaten/Kota.
Maka dari itu, potensi pendaftar yang akan lolos seleksi administrasi adalah, yang pernah duduk sebagai komisioner KPU atau Bawaslu Provinsi, Kabupaten atau Panwascam. Biasanya, dari Panwascam akan kalah bersaing.
Dengan demikian, proses seleksi administrasi seperti itulah yang membuat tidak adanya calon yang independen yang masuk dalam 12 besar calon komisioner Bawaslu Sumsel.
Dalam proses pendaftaran, calon yang tidak terafiliasi dan tidak beririsan dengan partai mana pun banyak yang mendaftar.
Akan tetapi skor seleksi administrasi mereka kalah dengan kader-kader Ormas yang terafiliasi dengan Parpol. Padahal secara kemampuan calon independen yang mendaftar itu, belum tentu kalah dengan para mantan komisioner dan kader Ormas.
Seyogyanya, dalam proses seleksi KPU dan Bawaslu tidak perlu skoring dalam proses seleksi administasi. Jika mereka yang mendftar dinyatakan lolos dan melengkapi syarat, akan lebih baik langsung bisa mengikuti tes CAT.
BACA JUGA:Wawako Perintahkan Bongkar Bangunan di Bawah Gardu Listrik
Hal ini untuk menghindari domonasi para mantan komisioner dan mantan Panwas serta kader-kader Ormas yang terafiliasi dan beririsan dengan Partai Politik. Jika terpilih setidaknya mereka bisa menjadi penyeimbang dalam lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat kolektif kolegial.
Memang, kita tidak dapat melarang para kader Ormas itu untuk menjadi penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, jauh akan lebih baik ada penyeimbang di dalam lembaga penyelenggara Pemilu itu dari orang Yang tidak terafiliasi dengan Parpol tertentu.
Pertanyaannya apakah para komisioner yang orang-orang pintar itu tidak terpikir akan bahaya lembaga kepemiluan yang seharusnya independen dikuasai oleh orang yang terafiliasi dengan Partai Politik?
Jika komposisi seperti sekarang, dapat dipastikan para calon yang terpilih akan berjuang untuk Parpol yang terafiliasi dengannya. Kong kolinkong, suap dan korupsi tidak bisa dihindari.
BACA JUGA:Limbah Sawit Bakal jadi Pupuk Organik Hayati Cair
Contoh nyata, kasus Bawaslu Muratara, Sumsel. Atau, kasus mantan komisioner Iwan Setiawan. Atau, kasus Novida Ginting dan Arif Budiman. Kong konglikong Iwan Setiawan dengan PDIP, menyebabkan Harun Masiku saat ini entah dimana keberadaannya.
Kasus-kasus itu akibat, para komisioner KPU dan Bawaslu yang terafiliasi dengan Partai Politik.
Dari proses seleksi seperti itulah, lahirnya penyelenggara Pemilu yang tidak independen. Pemilu yang selalu bermasalah sepanjang Indonesia menjadi negara demokratis. KPU-Bawaslu jadi bancakan ormas kembali tergambar dari refleksi dari rekruitmen Bawaslu Sumsel.
Setiap periode di negara ini integritas Pemilu baik dalam proses penyelenggaraan maupun integritas hasil pemilu itu sendiri selalu terancam.
Ancaman integritas hasil Pemilu terjadi karena diselenggarakan oleh orang-orang yang integritasnya diragukan karena terafialiasi dengan Partai Politik tertentu. (yurdi yasri)