Beredarlah kisah sukses dari zikir itu. Dimulai oleh sukses Muchtar sendiri. Ia sudah lama punya keinginan membeli buku: Ikhya Ulumuddin. Empat jilid. Karya filsuf Islam Imam Al Ghozali (meninggal tahun 1111, di wilayah yang sekarang disebut Iran).
Akhirnya buku itu terbeli. Seharga 40.000. Ia merasa capaian itu berkat zikir Kautsar.
Begitu banyak pejabat tinggi yang datang ke Ploso. Yang lokal maupun nasional. Sipil dan militer. Dengan segala macam kepentingan.
Kian besarlah daya tarik pondok Shiddiqiyyah, Ploso.
Tapi lonjakan terbesar terjadi di tahun 1970. Menjelang Pemilu pertama di zaman Orde Baru. Saat itu Golkar harus menang. Partai-partai dianggap tidak berhasil memakmurkan bangsa. Partai-partai harus kalah: NU, Parmusi, PSII, PERTI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan PNI.
Untuk kemenangan Golkar itu dimunculkanlah operasi khusus. Opsus. Dipimpin arsitek rekayasa politik zaman itu: Mayjen Ali Moertopo.
Dimunculkanlah ekstremis yang disebut Komando Jihad. Untuk kemudian ditumpas habis. Orang Islam pun ketakutan untuk tidak memilih Golkar.
Pola Opsus ini masih terus dipakai dalam beberapa Pemilu berikutnya. Tahap berikutnya sembilan partai itu harus diringkas menjadi dua saja: partai spiritualis materialis dan partai materialis spiritualis. PPP dan PDI.