94 Negara Terancam Krisis Pangan,Indonesia Termasuk? Begini Penjelasannya
RADAR PALEMBANG - Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ingatkan Indonesia akan ancaman krisis pangan energi dan keuangan global akibat adanya konflik Rusia – Ukraina.
Saat ini PBB mengidentifikasi ada 94 negara atau sekitar 1,2 miliar orang akan terdampak oleh krisis itu. Gejala ini tidak menutup kemungkinan terjadi di Indonesia.
Menurut Haoliang Xu, Asisten Sekjen PBB dan Direktur Biro Kebijakan dan Program UNDP, krisis pangan, energi dan keuangan global merupakan tantangan terbesar bagi nega-negara di dunia.
BACA JUGA:Aktivitas Perdagangan Pasar Ikan Modren Palembang Mati Suri, Rp25 Miliar Uang Negara Sia-sia
PBB sedang mengolah dana sebesar sekitar USD 21 Juta untuk pembiayaan ke depan. Hingga saat ini terdapat 70 negara yang telah mengajukan proposal bantuan. 69 negara telah mendapatkan persetujuan pembiayaan senilai USD 17 Juta.
PBB menyampaikan warning kisis pangan dan energy itu dalam pertemuan Steering Committee Meeting Global Crisis Response Group (GCRG) on Food ke-empat secara virtual pada hari Jumat tanggal 24 Juni 2022, mulai pukul 22.30 – 24.00 WIB. Hadir pada pertemuan itu Sekretaris kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso. Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina J. Mohammed memimpin langsung Steering Committee GCRG itu.
Pertemuan ke-4 Steering Committee ini membahas implementasi dari Rekomendasi dari Brief No. 2 GCRG. Sebut saja, upaya untuk stabilisasi pasar global, mengatasi ketidakpastian harga komoditas, serta upaya menanggulangi krisis Cost-of-Living. Sulit untuk enemukan solusi efektif khususnya pada krisis pangan dunia, tanpa paket kebijakan yang terintegrasi.
BACA JUGA:Permintaan Global Tinggi, Kopi Jadi Primadona Agribisis
"Saat ini krisis pangan, energi dan keuangan global masih mendominasi berita utama di seluruh dunia, yang disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina," ujarnya sebagai tertuang dalam siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekomian, Sabtu 25 Juni 2026.
Ancaman krisis pangan ini benar-benar mendapat perhatian PBB. Saat ini lembaga dunia ini telah memobilisasi Country Team dengan FAO menjadi Lead dalam proposal dan pendanaan, didukung oleh UNDP, UNICEF dan 22 Lembaga lainnya.
“Kami telah mengajukan proposal kepada G20 Finance Minister untuk mendukung IMF terkait program Food Import Financing Facility (FIFF),” ujar Dirjen FAO, Dong You.
Sementara itu, John Denton Sekjen International Chamber of Commerce menyarankan agar PBB mengeluarkan resolusi untuk membuka akses Laut Hitam terhadap arus komoditas pangan dan energi. Negara-negara G7 dapat mendukung dan bakal mendapat dukungan dari negara lain.
Ada sejumlah tindakan yang harus diambil segera untuk mengantisipasi krisis pangan. Langkah itu adalah; Pertama, meningkatkan ketersediaan bahan pangan dan pupuk. Kedua, mengintervensi upaya penurunan harga. Ketiga, pemerintah sejumlah negara harus mengintegrasikan kembali pasokan pangan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina ke pasar dunia.
BACA JUGA: Hingga Mei 2022 Realisasi Pendapatan Negara Capai Rp 1.70,4 Triliun
Keempat, mencabut aksi pembatasan ekspor. Kelima, melarang upaya penimbunan pasokan. Keenam, pemenerintah harus meningkatkan akses petani ke benih, pupuk, dan input lainnya. Ketujuah, mempertahankan transformasi sistem pangan yang sejalan dengan tujuan SDGs.
Sementara itu, Muhammad Al Jasser, Presiden IsDB (Islamic Development Bank) menyampaikan bahwa OPEC Fund telah menyelenggarakan pertemuan di Vienna dengan institusi regional. Hadir juga dalam pertemuan itu Arab Coordination Group, Qatar Fund dan Arab Fund yang berkomitmen atas paket proyek USD 10 Miliar untuk membantu negara anggota yang membutuhkan.
Dalam mengantisipasi ancaman krisis pangan global itu, negara-negara di dunia termasuk Indonesia perlu memperhatikan transportasi sebagai fasilitas dari supply chain.
Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya Koordinasi dari para pembuat kebijakan dalam memitigasi disrupsi rantai pasok sekaligus menangani dekarbonisasi sangat penting. Saat ini ekonomi sirkuler telah menjadi urgensi sebagaimana elaborasi dalam Brief No. 2 GCRG.
Dalam pertemuan Steering Committee Meeting Global Crisis Response Group (GCRG) on Food itu, Armida Alisjahbana, Executive Secretary UNESCAP (UN Economic and Social Commission for Asia and the Pacific), menyinggung rencana Presiden RI untuk menghadiri G7. Pertemuan itu bertujuan mencari solusi untuk menyelaraskan rekomendasi G20 dan GCRG.
Negara-negara anggota G-20 dan G-7 memiliki peran strategis dalam upaya menangkan krisis pangan global. Terkait dengan posisi G20 atas isu DSSI, negara anggota berencana untuk memperpanjang Debt Maturity bukan Debt Coverage Ratio.
Presiden Joko Widodo akan mengikuti pertemuan G7 pada akhir Juni 2022 dengan tujuan untuk menyelaraskan isu dan rekomendasi forum G7, G20 dan GCRG. Pada 13-14 Juli 2022 juga akan diselenggarakan G20 Finance Minister and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) yang akan dihadiri para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara anggota G20, dan juga akan dihadiri oleh Deputi Sekjen PBB.
Armida juga menggunakan kesempatan itu PBB yang ingatkan Indonesia soal ancaman krisis pangan. Menurutnya, Indonesia telah mencabut larangan ekspor minyak sawit dan beras dalam rangka membantu mitigasi krisis pangan global.
Terkait dengan kelangkaan gandum, Indonesia menyarankan alternatif berupa sagu dan barley. Indonesia juga telah menerima permintaan dari Jerman terkait pengadaan batu bara. (yui)
Sumber: