Mengutip Google Finance, perdagangan rupiah pada kemarin dibuka pada level Rp 16.120. Posisi ini melemah apabila dibandingkan awal April yang berada di kisaran Rp 15.800-Rp 15.900. Nilai tukar rupiah di pasar sudah menembus Rp 16.000 mulai 10 April lalu.
Sementara itu, Wakil Ketua bidang Agraria, Tata Ruang, dan Kawasan Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sanny Iskandar mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah punya dampak luas, tak hanya bagi dunia usaha, tetapi juga merembet kepada konsumen.
Pelemahan nilai tukar rupiah memberikan tambahan ongkos biaya pada pelaku industri dalam negeri yang banyak mengimpor bahan baku ataupun bahan penolong dalam proses produksinya.
Depresiasi rupiah membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk impor dengan harga barang yang sama.
”Jika tekanan itu tidak bisa ditutup dengan langkah efisiensi, bukan tidak mungkin ditransmisikan kepada konsumen menjadi kenaikan harga,” ujar Sanny.
Mayoritas industri manufaktur dalam negeri masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan bahan penolong.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total impor bahan baku atau penolong pada Januari-Februari 2024 mencapai 72,47 persen dari total impor yang mencapai 36,93 miliar dollar AS.
BACA JUGA:Kilang Pertamina Plaju Ekspor 2,13 Juta Barel Produk Unggulan
Bahan baku dan bahan penolong itu diimpor lalu diolah atau diproduksi menjadi produk jadi hasil industri manufaktur dalam negeri.
Masih tingginya impor bahan baku oleh industri manufaktur lantaran industri hulu dan antara dalam negeri ini masih lemah. Selain itu, masih banyak jenis bahan baku yang belum bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.
Tak hanya adanya potensi kenaikan harga barang produksi manufaktur dalam negeri, tetapi juga adanya kenaikan harga barang impor.
Dengan harga yang sama, importir harus merogoh kocek lebih dalam karena nilai rupiah jadi lebih lemah, sehingga harga barang lebih mahal.
BACA JUGA:Produk Ekspor Fesyen Indonesia Berpeluang Besar Isi Pasar Malaysia, Kualitas dan Harga Bisa Bersaing
Mengutip data BPS, pada Januari-Februari 2024, total impor barang konsumsi mencapai 3,63 miliar dollar AS atau 9,84 persen dari total impor.
”Harga-harga jadi tidak kompetitif. Ini bisa menurunkan daya beli masyarakat,” ujar Sanny.