PALEMBANG, RADARPALEMBANG.COM - Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Bivitri Susanti, menanggapi keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyatakan agar debat cawapres ditiadakan.
Bivitri mengatakan, jika itu terjadi dan disepakati, maka sudah ada pelanggaran hukum di dalamnya yakni pelanggaran bagian penjelasan pasal 277 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
"Kalau itu sudah jadi kesepakatan, sebenarnya itu melanggar undang-undang, gak boleh.
Karena ada bagian penjelasan pasal 277 undang-undang pemilu yang mengatakan bahwa debat itu terdiri dari lima kali, nah duanya itu harus untuk cawapres," kata dia pada Sabtu, 2 Desember 2023 dkutip dari idntimes.com.
BACA JUGA:Berbeda dari 2019, KPU Gabungkan Debat Capres dan Cawapres di Pilpres 2024, Ini Alasannya
1. Bagian penjelasan undang-undang tak bisa dipisahkan
Bivitri mengatakan bahwa bagian penjelasan dalam undang-undang adalah satu bagian yang tidak bisa diabaikan dan harus tetap dijalankan.
"Kalau dibilang, ah itu kan cuma di penjelasan, menurut undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, penjelasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari undang-undang," ujar dia.
Dia juga menyoroti terkait bagaimana aturan yang ada terkesan licin untuk diubah.
Isu soal debat juga diatur dalam Peraturan KPU nomor 15 tahun 2023 tentang Kampanye, di dalam pasal 50 ayat 2 dijelaskan bahwa debat capres dan cawapres formatnya bisa diubah setelah KPU berkoordinasi dengan DPR.
Hal ini yang dianggap Bivitri terkesan "tricky".
BACA JUGA:Ganjar-Mahfud Janji Beri Insentif Guru Ngaji Rp1 Juta per Bulan
"Tapi kemudian dibilang itu bisa diubah dengan berkoordinasi dengan DPR.
Seakan-akan cari justifikasi bahwa kalau sudah disetujui DPR maka bisa berubah formatnya.
Nah itu yang salah, karena kalau melanggar undang-undang tetep gak boleh, walaupun DPR bilang oh gak gak apa-apa.