PRO DAN KONTRA PRODUK KEBIJAKAN PUBLIK

PRO DAN KONTRA PRODUK KEBIJAKAN PUBLIK

HENDRI ISWANDI (Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Sriwijaya).--

 

 

RADAR PALEMBANG, Kebijakan Publik merupakan suatu aktifitas yang diambil oleh pihak tertentu atau pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan semua pihak. Namun pada proses pembuatan sebuah produk kebijakan, menjadi pertanyaan besar apakah Pemerintah telah memperhatikan aspek-aspek penting dan telah menghitung skala prioritas sebelum mengeluarkan produk kebijakan publik

Carl J. Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu, sedangkan Laswell dan Kaplan mengartikan kebijakan publik sebagai projected program of goal, value, and practice atau sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.

Proses pembuatan sebuah produk kebijakan yang telah melalui tahapan-tahapan yang jelas sekalipun tetap akan menuai pro dan kontra atau dukungan dan ketidaksetujuan, apalagi jika Produk kebijakan publik tersebut dirasa tidak memperhatikan aspek hambatan pihak tertentu. Seperti yang terjadi baru-baru ini dimana Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi Tahun 2023, Formula UMP baru tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Pemenaker) nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2023. Dengan aturan itu, kenaikan UMP 2023 bisa mencapai 10% kemudian upah minimum kabupaten/kota atau UMK 2023 ditetapkan dan diumumkan paling lambat 7 Desember 2022. Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah menuturkan, baik UMP maupun UMK yang telah ditetapkan akan diberlakukan mulai 1 Januari 2023. Keduanya, tidak boleh mengalami kenaikan lebih dari 10%.

Apakah Produk Kebijakan tersebut telah memuaskan semua pihak? pada kenyataannya Produk kebijakan tersebut menerima penolakan dari kalangan pengusaha dan juga dari kalangan pekerja atau buruh. Pengusaha menilai kebijakan tersebut tidak memperhatikan aspek hambatan yang dialami Pabrik dan Perusahaan dalam mengelola keuangan pasca pandemi covid-19, sedangkan kalangan pekerja atau buruh merasa kenaikan tersebut terlalu kecil mengingat beban hidup yang meningkat pesat pasca kenaikan harga BBM oleh Pemerintah.

Pada proses pembuatan produk kebijakan Publik oleh Pemerintah dalam hal ini dikeluarkan oleh Kemenaker telah memperhatikan berbagai aspek yang dituangkan dalam rumus perhitungan untuk menentukan UMP dan UMK.

Menurut Pasal 6 Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, daerah yang telah memiliki upah minimum maka harus melakukan penyesuian nilai dengan mempertimbangkan variabel: Pertumbuhan ekonomi, Inflasi dan Indeks tertentu. Adapun penghitungan UMK, menggunakan formula atau rumus UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)). 

UM(t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan. Sementara UM(t), adalah upah mininum tahun berjalan, dalam hal ini upah minimum 2022. Penyesuaian nilai UM sendiri adalah penyesuaian nilai upah minimum yang merupakan penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi dan a. 

Penyesuaian nilai UM di atas memiliki formula, Penyesuaian Nilai UM = Inflasi + (PE x a). Inflasi yang dimaksud merupakan inflasi provinsi yang dihitung dari periode September tahun sebelumnya sampai periode September tahun berjalan (dalam persen). PE adalah pertumbuhan ekonomi. Bagi kabupaten/kota, PE dihitung dari perubahan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota kuartal I, kuartal II, kuartal III, dan kuartal IV pada tahun sebelumnya terhadap pertumbuhan ekonomi dua tahun sebelumnya. Sementara itu, a merupakan indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Perhitungan yang dijabarkan tersebut dapat menjadi landasan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menentukan besaran UMP dan UMK, namun pada kenyataannya produk kebijakan tersebut mendapat penolakan dari kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak pekerja, akan tetapi yang menarik adalah sebagian besar masyarakat justru mendukung produk Kebijakan Pemerintah tersebut, alasan yang dapat diterima masarakat adalah produk kebijakan ini adalah jalan tengah dimana pihak pengusaha menginkan kenaikan yang seminimal mungkin sedangan pihak pekerja menginginkan kenaikan yang signifikan. 

Dari contoh produk kebijakan tersebut dapat dilihat bahwa produk kebijakan ini telah melalui rangkaian proses yang panjang namun tetap saja tidak dapat memuaskan semua pihak, maka dapat kita petik pelajaran dari pengalaman ini bahwa bagaimana kedepan produk kebijakan yang dihasilkan oleh Pemerintah dapat lebih matang dengan melalui proses yang jauh lebih terukur dan terarah dengan tetap memperhatikan kepentingan semua pihak sehingga produk kebijakan publik yang dihasilkan akan mendapatkan dukungan dari sebagian besar pihak dan masyarakat secara umumnya.

Penulis: HENDRI ISWANDI (Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Sriwijaya).

Sumber: