Viral Wanita Minta Cerai Usai Ijab Kabul, Ini Aturan Menurut Adat PALI dan Hukum
Aturan Menurut Adat PALI dan Hukum Wanita Minta Cerai Usai Ijab Kabul --
Mengutip dari kabarpali.com, Budayawan PALI, H. Hasanuddin menjelaskan tradisi “duduk kawen, betegak sarak” sesungguhnya adalah cerminan dari pernikahan yang dipaksakan.
Umumnya, peristiwa semacam ini terjadi karena tidak ada rasa cinta atau kesiapan antara kedua belah pihak. Ada beragam penyebabnya, seperti: Perjodohan yang dipaksakan oleh keluarga, kasus kawin lari, perempuan yang diintimi secara paksa atau tipu daya (“dikecakke”), dan kehamilan di luar nikah.
“Biasanya, ini dilakukan hanya demi menjaga muka di hadapan masyarakat, agar tidak menjadi bahan gunjingan. Maka meskipun akhirnya berpisah, setidaknya sudah sempat ada ikatan sah secara agama,” jelas Hasanuddin.
Ia menegaskan, praktik seperti ini meski dianggap aib, masih kerap terjadi di beberapa wilayah PALI—hanya saja tidak selalu viral di media sosial.
Banyak dari pernikahan seperti ini yang tidak tercatat secara resmi di lembaga negara, melainkan hanya dilakukan secara adat atau agama.
Menurut Pandangan Hukum
Lantas bagaimana menurut pandangan hukum mengenai pristiwa tersebut? apakakah bisa seorang wanita meminta cerai usai dilakukan ijab kabul?
BACA JUGA:Program Makan Bergizi Gratis, Bentuk Perhatian Pemerintah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
BACA JUGA:Penyedia Stop Program MBG di PALI, Wabub: Harus Ada Evaluasi Distribuasi
Melansir dari hukumonline.com perceraian hanya bisa dilakukan apabila memenuhi alasan-alasan cerai sesuai bunyi Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 116 KHI.
Karena itu, jika setelah akad nikah langsung cerai, perceraian tidak bisa dilakukan atas dasar kesepakatan atau perjanjian bersama.
Lantas bagaimana hukum perkawinan melihat peristiwa tersebut? Dikutip dari artikel Klinik Hukumonline berjudul “Bisakah Setelah Akad Nikah Langsung Cerai?”, dalam Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian sebagaimana diatur Pasal 114 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)).
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Sumber:


