"Sehingga tidak terdapat niat jahat (mens rea) pada perbuatan terdakwa. Dengan demikian, Mardani H Maming harus dinyatakan bebas,"kata akademisi yang juga menjadi pengajar pendidikan calon Hakim Tipikor di Mahkamah Agung ini.
BACA JUGA:Artis Raffi Ahmad dan Pendakwah Gus Miftah Jadi Utusan Khusus Presiden Prabowo, Ini 5 Nama Lainnya
BACA JUGA:Komunitas Angler Sumsel Community Gelar Casting Bareng di Lebung Arab Ogan Ilir
Pekan lalu, dalam acara diskusi buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang diadakan di Yogyakarta, beberapa pakar menguatkan pendapat itu.
Senada dengan itu, Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum juga menyampaikan desakan yang sama.
Profesor yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Diponegoro periode 2019-2024, juga menyoroti kekhilafan dalam putusan pemidanaan tersebut.
Ia menyatakan keputusan Mardani H Maming selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.
"Pengadilan Tipikor, yang merupakan pengadilan pidana, tidak memiliki wewenang untuk menilai keabsahan keputusan administrasi tersebut,"jelas dia.
Oleh karena itu, sambung dia, tidak ada pelanggaran hukum administrasi yang bisa dijadikan dasar pidana, dan terdakwa tidak bisa dipidana.
"Selain itu, Pasal 93 ayat 1 UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba mengatur larangan kepada pemegang IUP sebagai pihak swasta, bukan kepada Bupati, sehingga Mardani H. Maming tidak dapat dipersalahkan," jelas Prof. Yos.
Pendapat yang sama juga dilontarkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK, menyampaikan terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Mardani H. Maming.
Ia menegaskan tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum.