PALEMBANG, RADARPALEMBANG.COM - Krisis ekonomi terparah Indonesia bukan terjadi pada krismon 1998 melainkan pada era Demokrasi Terpimpin tahun 1965 karena pemerinta banyak mencetak uang.
Setelah Indonesia merdeka dan diakui kedaulatannya, maka negara Indonesia tidak langsung kompak dan bersatu dalam pembangunan ekonomi.
Terdapat banyak pihak dari internal Indonesia sendiri yang belum sepenuhnya menerima kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Yang menyebabkan munculnya banyak pemberontakan di daerah-daerah seperti permesta di Manado, RMS di maluku, DI/TII, hingga perang melawan Belanda untuk merebut Irian Barat di tengah banyaknya potensi perpecahan bangsa.
Maka tidak heran jika anggaran pemerintah terlalu banyak disalurkan untuk pengeluaran militer, mayoritas belanja pemerintah pada saat itu diperuntukan untuk keperluan militer dan juga proyek pembangunan nasional.
Dimana ini artinya sangat sedikit anggaran yang tersisa untuk menunjang kesejahteraan masyarakat. Dari semua peperangan dan pemberontakan terdapat 2 operasi militer yang paling menguras anggaran pemerintah.
Yaitu operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat dari Belanda dan juga operasi Dwikora, dimana 2 kampanye militer ini dan beberapa pemberontakan lain akhirnya menjadi pemicu yang signifikan terhadap defisit anggaran pemerintah di tahun 1963 - 1965 pada era Presiden Soekarno.
Saat itu Indonesia mendapatkan bantuan kredit ekspor senilai USD 2,5 miliar dolar dari Uni Soviet untuk pembelian berbagai persenjataan perang seperti 25 pesawat bomber TU-16 Badgeder, 12 kapal selam, puluhan pesawat jet tempur, berbagai jenis kapal penjelajah, dan lain sebagainya.
selain itu Indonesia juga mendapatkan hibah persenjataan dari presiden Kennedy seperti pesawat C-130 Hercules yang bahkan masih digunakan hingga sekarang.
Banyaknya persenjataan yang dibeli dan diterima Indonesia saat itu, membuat militer Indonesia sempat menjadi yang terkuat di belahan bumi selatan.
Namun dibalik kemajuan militernya, perekonomian Indonesia terus mengalami kemunduran sepanjang tahun 1960-1966.
Ekspor Indonesia turun dari USD 840 juta menjadi USD 680 juta, dimana faktor utama penyebab penurunan nilai ekspor ini adalah jatuhnya harga jual karet di pasaran internasional sebesar 50 persen sejak tahun 1960.
Dimana saat itu karet merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, sementara barang ekspor lain seperti kopra, teh, tembakau, dan timah, juga menurun secara volume dan jumlah sejak tahun 1960.